Senin, 17 Agustus 2015

Boy Shandy, Menguntai Inspirasi dari Kacamata Hitam

Dimuat di  Padang Ekspres Edisi Sabtu 15 Agustus 2015 http://www.koran.padek.co/read/detail/34596 

15 Tahun Ngamen di Jalanan, Kini Hasilkan 50 Album 

”Sakiknyo Patah Bacinto, Padiah Luko, Manyeso Dalam Dado”. Sepenggal lirik lagu di atas, pastilah bakal membawa nostalgia penggemar lagu Minang ke 17 tahun silam. Tepatnya, tahun 1998 lalu. Sekaligus mengingatkan pada satu nama artis yang identik dengan kacamata hitamnya. Siapakah dia?

Ya, dialah Boy Shandy. Pria kelahiran Padang, 11 April 1975 ini, boleh dikatakan ikon penyanyi Minang. Nyaris tidak ada orang yang tidak mengenal namanya di seantaro ranah Minang ini.

Tidak salah pulalah kiranya, sejumlah tulisan di jejaring sosial menasbihkan hampir setiap sudut rumah Sumbar memiliki kaset atau pun Video Compact Disc (VCD) penyanyi satu ini.

Anak kedua dari lima bersaudara buah kasih pasangan Burhanudin dan Malinur ini, sudah dianugrahi talenta luar biasa dalam bermusik dan menyanyi sedari kecil.

Bahkan, saat usianya baru beranjak 8 tahun, Boy Shandy terbiasa merakit alat musik sendiri. Misalnya, drum dari jeriken dan gendang dari kulit kambing, serta gitar dari nilon. 

Ketika anak seusianya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Boy Shandy justru menjalani hidup menjadi seorang pengamen. Kekurangan fisik yang dialaminya bukanlah cacat fisik bawaan dari lahir.

Kedua matanya tidak dapat berfungsi sejak Boy Shandy berumur 2 tahun. Menurut penuturan sang ibunya, dia buta akibat sering menangis sejak lahir.

“Sejak kecil, kata ibu, saya hampir tidak pernah berhenti menangis. Entah karena kekeringan air mata, atau akibat mata terlanjur basah. Ada juga yang mengatakan, dampak sakit campak sewaktu kecil yang tumbuh di sekitar mata saya,” ujarnya.

Kendati begitu, kekurangan fisik tak membuatnya berputus asa. Apa pun yang dilakukan orang normal, juga dilakukannya. Mulai dari berjalan tanpa tongkat, mengayuh sepeda, mengendarai sepeda motor, bahkan menyetir mobil sudah pernah dicobanya.

“Saya tidak pernah merasa minder dengan kawan-kawan sebaya. Apa yang mereka kerjakan, saya pelajari juga. Kalau berkendara sih, ya ada yang teman atau keluarga memandu dan memberi isyarat,” ucapnya sambil tertawa.

Dijumpai Padang Ekspres di kediamannya RT 01 RW 04 Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, akhir bulan lalu, Boy Shandy tersipu malu ketika ditanya soal kisah cintanya.

Menurut penuturannya, dia mengukuhkan ikatan cintanya dengan Anita Febrina, 34, wanita cantik asal Payakumbuh, akhir 2005 lalu. Tahun ini, buah hati mereka satu-satunya, Livana Gita, sudah menanjak usia 9 tahun.

Sepuluh tahun sudah keduanya mengarungi bahtera rumahtangga. Boy Shandy mengaku tidak butuh waktu lama memantapkan hatinya, dan membawa kekasih pujaannya itu ke kursi pelaminan.

“Kami kenal pertengahan tahun 2004, saat itu saya jadi bintang tamu pada sebuah iven lomba nyanyi. Saat itu, Anita mendampingi temannya yang ikut jadi peserta lomba. Setelah ngobrol-ngobrol satu sama lain, jadi dekat dan mengalir begitu saja,” kenangnya.

Berbicara perihal karir di blantika musik ranah Minang, Boy Shandy mengatakan bahwa lebih kurang 50 album sudah dirilisnya. Ke semuanya itu, merangkup beraneka jenis aliran musik. 

Mulai dari pop Minang, Melayu, Nostalgia Indonesia, Saluang, Gamad, Dangdut Nostalgia, Remix hingga genre Slow Rock sudah mengalun dari bibirnya. 

Sejumlah lagu-lagunya yang menghiasi situs Youtube, juga tidak kalah sepi peminat. Di antara video klipnya yang paling banyak dilihat viewers antara lain Rindu Bapusarokan (149 ribu viewers), Tirai Sulam Emas (230 ribu viewers) Luko Den Baok Mati (257 ribu viewers), dan Seroja (481 ribu viewers).

Boy Shandy mengaku, seluruh produser musik di setiap penjuru Sumbar sudah dicicipinya. Seingatnya, Nedi Gampo merupakan musisi senior yang pertama kali mengajaknya ke dapur rekaman.

“Saat itu saya tampil menyanyi pada suatu pesta perkawinan. Di situ rupanya ada beliau, usai pesta saya diajak rekaman. Saya masih ingat lokasinya di sekitar Pasir Jambak tahun 1998. Lagu pertama saya waktu itu berjudul Sakik Patah Bacinto itu,” ujar Boy Shandy.

15 Tahun Mengamen

Boy Shandy bukanlah artis karbitan. Dia memulai kariernya dengan mengamen di jalanan selama 15 tahun (tahun 1983 sampai 1998, red). Naik turun bus, sudah menjadi hal biasa dilaluinya. Pengakuan Boy Shandy, Sumbar– Riau sudah hampir dijelajahinya dalam mengadu untung sebagai pengamen.

“Dulu penghasilan Rp 20.00 sehari, sudah sangat besar sekali. Waktu itu belum krisis moneter, gaji pegawai kantoran baru sekitar Rp 150 ribu sebulan. Bahkan, tahun 1992 dan 1993 di area pasar Kota Pekanbaru sehari bisa memperoleh Rp 100 ribu,” ungkapnya.

Berbekal kemahirannya menciptakan dan mengaransemen lagu, membuat Boy Shandy mengembangkan sayap menjadi produser (tahun 2007, red). Bersama sang istri, dia mendirikan studio rekaman berlabel Sonata Record. 

Sederet penyanyi pendatang baru sudah diorbitkannya melalui label ini, seperti Rina Viola, Cici Wianora, Suci Piliang, Ril Gani, Real Andrean dan Lala Bunga.

Khusus nama terakhir, menjadi tandem Boy Shandy dalam album terbaru mereka bertajuk Dendang Indang Saluang yang dirilis awal Agustus kemarin. Penasaran seperti apa penampilan Boy Shandy dalam kekinian? Silakan beli VCD terbarunya! (*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar