Teringat dan Terkenang

Untuk menyingkap sisi lain batu nisanku kelak dimana hanya ada nama, kelahiran dan kematian, maka aku menulis!

Selasa, 18 Agustus 2015

Kisah Gaek Kiri, Penambang Pasir di Gunungnago

Dimuat di Padang Ekspres edisi 28 Maret 2015

Sukses Antarkan Anak jadi Dosen
Kasih orangtua memang tak berbatas, walau harus berkalang nyawa demi menghidupi keluarganya. Inilah yang dilakoni Gaek Kiri,73, yang berprofesi sebagai penambang sirtukil di aliran sungai Gunungnago. Bagaimana kisahnya?
Melewati jembatan Gunungnago sepasang mata dapat menyaksikan aktivitas penambangan pasir batu kerikil (sirtukil) di sepanjang aliran sungai.
Aktivitas yang menjadi mata pencaharian warga setempat sejak puluhan tahun lalu itu kian memprihatinkan. Kerap kali penambangan pasir dilakukan di area pondasi tiang-tiang jembatan. Dampaknya jelas, keselamatan pengguna jembatan ikut terancam.
Membelah kerumunan penambang pasir ini, Rabu (25/3), Padang Ekspres bertemu dengan sosok pria berusia 73 tahun bernama gaek Kiri. Setengah abad dari usianya ditasbihkan sebagai penambang pasir Gunungnago.
Kiri menggigil kedinginan setelah menyusuri sungai untuk menambang kerikil. Berbeda dengan para penambang lainnya kiri tampak kalah bersaing dari segi usia dan tenaga.
Jika mayoritas rekannya berusia muda, mampu menambang kerikil menggunakan benen bekas truk sebanyak 12 kali keluar masuk sungai, Kiri hanya mampu seperenam dari total itu.
“Ambo lah tuo, lah pandingin badan, skali duo kali taloknyo,” (saya sudah tua, mudah kedinginan, hanya sekali dua kali yang saya mampu, red) begitu bibirnya berucap seraya menenteng sekopnya ke arah warung di pinggir sungai.
Seraya melepas lelah di warung, Kiri, warga RT 02/02, Kelurahan Kapalokoto, Kecamatan Pauh itu mulai bercerita perihal kesehariannya menjadi penambang sirtukil. 
Dalam kesehariannya Kiri tinggal dengan istrinya saja, meski sesekali tiga orang anaknya yang masih lajang, singgah dalam perjalanan untuk bermalam. Dari 12 orang anak Kiri, tiga anak lelaki terakhirnya inilah yang berprofesi sebagai sopir truk angkutan, itupun seringkali bertolak keluar Kota Padang. 
“Hanya anak tertua saja yang mau sekolah, yang lain juga selalu bapak daftarkan, tapi mereka enggan bersekolah,” ucap gaek.
Sementara 6 orang anak perempuannya menjadi ibu rumah tangga dan tinggal dengan keluarga mereka masing-masing. Anak laki-laki tertua gaek Kiri terbilang berhasil.
Setelah dikuliahkan di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, saat ini si sulung berprofesi sebagai dosen di Universitas Andalas Padang.
Dikaruniai sembilan belas orang cucu tidak lantas menghentikan rutinitas gaek. Berbekal secangkir kopi dan sepotong kue, belum pukul 07.00 gaek sudah berada dibibir sungai.
Sebelum terjun ke sungai, gaek terlebih dahulu mengawali pekerjaannya memecah batu. Hal itu dilakoninya untuk memancing keringat agar selaras dengan dinginnya air sungai.
Kadang apabila azan shalat Ashar berkumandang pukul 16.00 sore, barulah gaek bertolak menuju rumahnya mencari sepiring nasi.
“Kalau ada nasi saya makan di rumah, kalau tidak bertemu nasi saya balik lagi ke sini memecah batu,” tutur Gaek yang sudah menjadi penambang sirtukil sejak usianya beranjak 25 tahun.
Berbicara mengenai hari libur, justru bagi Kiri dengan tidak bekerja sehari saja, malamnya tidak bisa tidur.
“Sudah 73 tahun umur bapak, alhamdulillah belum pernah sakit yang menuntut istirahat seminggu, paling hanya demam satu atau dua hari sudah bisa bekerja lagi. Harus mengeluarkan keringat setiap hari supaya tetap sehat,” tegas Kiri. 
Pasir tak Laku, Beras dihutang 
Jembatan Gunung Nago yang terletak di kelurahan Kapalokoto merupakan jalur alternatif yang menghubungkan Kecamatan Pauh dan kecamatan Kuranji.
Di sinilah sekitar 30 an warga beraktivitas sebagai penambang sirtukil. Berbeda dengan penambang sirtukil kawasan lain yang menggunakan perahu, di aliran sungai Gunung Nago penambang memakai benen bekas truk yang dibentuk sedemikian rupa.
Gaek Kiri usianya memang tak muda lagi, namun semangatnya tak kunjung pudar. Setelah tubuhnya kering dari guyuran air sungai, kiri kembali ke tumpukan bebatuan sungai yang telah delapan bulan dikumpulkannya.
Dengan sebuah palu tumpul dan sejengkal pahat besi, gaek mulai mengayunkan lengannya memecah bebatuan itu hingga terbelah menjadi kepingan – kepingan sekepalan tinju.
Apabila tidak ada mobil yang datang membeli kerikil, ayah dari 12 orang anak itu tidak pernah mengeluhkan keadaan. “Walau pasir saya tak terjual hari ini besok pasti laku juga, masalah beras bisa dihutang dulu,” ucapnya optimis.
Tidak hanya kerikil yang dikumpulkan gaek dua benen sehari, usahanya juga mencakup menumpuk bebatuan sungai dari yang di angkat penambang pasir dari kalangan anak-anak.
“Kalau bebatuan yang sudah dipecah ini laku baru bapak berduit. Satu truk colt diesel muatan lima kubik, bebatuan bisa terjual satu juta rupiah. Ini sudah delapan bulan belum terjual,” ungkapnya sambil menunjuk beberapa titik tumpukan batu.
Benar saja, kegundahan hati gaek tampak terobati seketika sebuah mobil L300 bergerak pelan memasuki area pertambangan sirtukil Gunungnago. 
“Gaek ko dulu, gaek ko dulu,” sorak rekan-rekan Kiri sesama penambang pasir. Begitu mesin mobil mati, Buyuang dan Iyud dengan sigap mengambil sekop dan mulai mengisi mobil itu dengan kerikil kepunyaan gaek Kiri.
Di kawasan Gunungnago, pasir dan kerikil dihargai Rp 75.000 untuk satu mobil jenis L300. Setelah dipotong upah muat Rp 10.000, para penambang memperoleh uang bersih Rp.65.000.
“Lai ka batanak juo urang di rumah,” dengan nada pelan, gaek Kiri tersenyum sendiri melihat kerikil miliknya beralih ke mobil pembeli.
“Dulu bapak pernah sesekali bekerja sebagai pemborong rumput di kampus Unand, sehari bapat dapat memperoleh sampai Rp 200 ribu. Angka segitu dulu sudah sangat banyak, belum lagi ditambah penjualan rumput yang terkumpul,” tutur gaek mengenang kejayaannya saat muda.
Mengenai aktivitas pertambangan sirtukil Gunungnago, pengamat sosial Universitas Andalas, Elfitra menyayangkan kegalauan pemerintah kota (Pemko) Padang dalam menentukan sikap.
“Pemerintah tampak dilema, peran pemerintah sebagai regulator harusnya membentuk kebijakan yang tepat. Persoalan ini sudah berlangsung lama, pemerintah sepatutnya menyelasaikan permasalahan dari akarnya. Misal, pelarangan aparat ikut andil membeli pasir ilegal, menentukan harga yang layak dan sebagainya,” jelas ketua jurusan Sosiologi Unand Padang itu.
Elfitra yang dijumpai Padang Ekspres Rabu (25/3) diruangannya menyatakan, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
“Apabila memang hanya itu satu-satunya pencaharian warga, Pemko beserta seluruh SKPD bertanggung jawab mencarikan pekerjaan lain. Bisa dengan membangun perusahaan daerah bidang penambangan sirtukil dan mengangkat pekerja dari mereka ini. Atau dengan mengembangkan sektor industri dari bebatuan sungai, melatih masyarakat sebagai pengrajin batu dengan karya yang bernilai jual tinggi,” ucap Elfitra. (*)

Pondok Esek-esek Menjamur di Pasirjambak

Dimuat di Padang Ekspres dan Riau Pos edisi 10 Maret 2015



Pemko Padang masih butuh kerja keras untuk memberantas praktik maksiat di ibu kota Sumbar ini. Setelah payung ceper di Pantai Padang diberangus dan objek wisata kawasan Bungus gencar dirazia, kini objek wisata Pasirjambak dijadikan alternatif untuk bermesum ria.     
Pantauan Padang Ekspres, Kamis (5/3) siang lalu, setidaknya ada enam pasangan sedang asyik berduaan dalam pondok-pondok tertutup di pinggir pantai tersebut. Suasana sepi dan jauh dari keramaian seakan mendukung muda-mudi itu melakukan praktik esek-esek. 
Tidak hanya kawula muda, pasangan yang sudah berumur dan menggunakan mobil pun memilih tempat tersebut untuk berbuat mesum. Hanya memesan dua botol minuman seharga Rp 25.000, pengunjung bisa leluasa di pondok tersebut. 
“Kalau di sini, biasanya pengunjung memang untuk bermesraan,  sedangkan di sebelah sana (pondok yang terbuka, red), yang datang rata-rata rombongan keluarga dan anak-anak untuk liburan,” ungkap pemilik pondok yang enggan ditulis namanya setelah mengantar minuman pesanan pengunjung.
Eri, 40, warga setempat, termasuk yang gerah dengan keberadaan pondok esek-esek itu. “Selain sarang maksiat juga merusak pemandangan. Lebih mirip kandang ayam,” ujarnya.
Ketua pemuda setempat Syahrial, 43, mengakui keberadaan pondok-pondok tersebut sering memicu perselisihan antarwarga. “Kami tidak mau lagi ricuh gara-gara mempermasalahkan pondok-pondok itu,” ucapnya.
Pemilik pondok lainnya yang enggan menyebutkan nama, mengaku Januari lalu pondok miliknya telah dibongkar petugas Pemko.
“Camat, Dinas Pariwisata, LPM, dan petugas kelurahan telah datang ke sini bulan Januari untuk menyuruh kami membuka penutup pondok. Karena sepi pengunjung selama 2 bulan berturut-turut, kami terpaksa memasang penutup itu lagi,” ujar wanita paruh baya itu.
Selain beralasan sebagai mata pencarian satu-satunya, ia juga berdalih apabila penutupnya dibuka, pengunjung beralih ke hotel atau penginapan yang terdapat di jalan masuk pantai. “Jika dikatakan ini tempat maksiat, silakan. Tapi, mau gimana lagi, kami hanya mencari makan,” ujarnya.
Lain lagi Rosni, 54, pemilik pondok-pondok yang terbuka. Walau sepi pengunjung, lokasi yang disewa Rosni selama 2 tahun itu masih memberikan pemasukan untuk kebutuhannya sehari-hari.
Dengan tujuh unit pondok yang dimilikinya, hari-hari kerja Rosni mengaku memperoleh pemasukan Rp 50.000 sampai 80.000 sehari. Sedangkan hari Minggu atau hari libur, pemasukannya bisa Rp 200.000 sehari. “Biarlah sepi pengunjung yang penting uang yang diperoleh halal untuk dimakan,” ungkapnya. 
Lurah Pasie Nantigo, Satria menyebutkan, pedagang yang memiliki pondok esek-esek sudah diingatkan Januari 2015 lalu agar membuka penutup pondoknya.
“Kalau memang sekarang sudah dibuka lagi, nanti akan kami komunikasikan dengan tim untuk langkah selanjutnya,” ujarnya  saat dihubungi Padang Ekspres kemarin. 
Satria mengaku tidak sanggup menasihati pemilik pondok secara individu. “Kalau menasihati langsung surang-surang yo ndak talok ambo do,” ungkapnya. (*)

Junaidi, Guru SMP Berprestasi Tingkat Nasional

Dimuat di Padang Ekspres edisi 27 July 2015

Rajin Menulis Artikel di Media Massa
Saat sebagian guru terjebak dalam rutinitas mengajar, pulang dan mengajar lagi, Junaidi punya kegiatan lain yang mengasyikkan. Pria ini memilih menyumbangkan pikirannya dalam bentuk penulisan artikel pendidikan ke di media massa.
Atas dedikasi tersebut, Junaidi didapuk penghargaan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan pada Mei lalu. Junaidi salah satu perintis Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak di kawasan pinggiran Kota Padang.
Pria kelahiran 14 Juni 1977 ini dapat mengubah imej SMP 35 Padang yang diwakilinya. Meski berasal dari daerah pinggiran, tak berarti siswa dan gurunya minim prestasi. Junaidi mampu membuat SMP 35 Padang dapat bersanding dengan berbagai sekolah favorit lainnya di Kota Padang.
Pria kelahiran Balairupi, 14 Juni 1977 ini mengabdikan hidupnya untuk menjadi tenaga pengajar di SMP Negeri 35 Padang sejak tahun 2002 sampai sekarang. Dia pernah mengajar di SMP Negeri 18 Padang dan SMP Pesantren Modern Terpadu Prof Dr Hamka (2001-2003).
Junaidi menceritakan perjalanan hidupnya hingga didaulat menjadi salah satu finalis guru SMP berprestasi tingkat nasional tahun 2014.
“Beberapa hari sebelum peringatan HUT kemerdekaan RI, selain mengikuti lomba, semua guru berprestasi se-Indonesia juga diundang menghadiri upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI di Istana Negara. Mereka juga diundang menghadiri pidato kenegaraan Presiden di DPR,” jelas suami Yuliawati ini.
Banyak pengalaman yang  didapatnya dalam kegiatan tersebut. Selain diundang bersilaturahim dengan presiden dan ibu negara, mereka juga mendapatkan bermacam reward dalam bentuk uang dan barang yang akan dibawa pulang.
Junaidi menyelesaikan pendidikan master di IAIN Imam Bonjol Padang dengan konsentrasi Pendidikan Islam tahun 2005. Ia kembali menempuh jalur serupa untuk master keduanya di UNP Konsentrasi Quality Assurance & School Leadership 2007 dan menuntaskan gelar MPd tahun 2011.
Di tahun 2008 dia memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan di Ohio State University, Amerika Serikat dalam jalur sandwich program. Dia dua kali menempuh pendidikan S2. Junaidi juga beraktivitas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Qur’an Payakumbuh sejak 2011 sampai sekarang.
Pada 28 Mei lalu, berkat ketekunannya mengirimkan hasil karya tulis ke beberapa surat kabar di Sumbar, sebuah artikelnya berjudul “Sekolah Pelopor Kejujuran” membawa Junaidi berhasil meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai Juara III Lomba Artikel Pendidikan tahun 2015.
“Total 33 karya yang sudah diterbitkan. Minimal satu tulisan per bulan, tergantung kesibukan atau momentum yang dinilai menarik. Bila difokuskan, setidaknya satu tulisan dapat dihasilkan dalam seminggu,” katanya.
Ayah tiga anak ini menyayangkan selera guru untuk menulis artikel di media cetak masih sangat terbatas. ”Dari sekitar tiga juta guru Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang memperoleh kesempatan serupa. Karena itu pula, saya sangat bersyukur mendapatkannya. Apalagi, Mendikbud Anies Baswedan merupakan sosok tokoh idola yang dikagumi banyak orang di negeri ini,” ujar mantan Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah Sumbar.
Kondisi itu setidaknya tercermin dari peserta lomba tahun ini yang hanya berjumlah 256 orang. Itu pun sudah termasuk orangtua peserta didik.
“Jumlah sebanyak itu tentu amatlah sedikit bila dibandingkan sekitar tiga juta guru Indonesia,” tutur pria yang mendapatkan penghargaan tahun 2013 dari Menteri Agama RI sebagai guru pendidikan agama Islam berprestasi tingkat nasional.
“Andaikan guru-guru kita mau lebih bersungguh-sungguh menulis, maka tentu akan lebih banyak lagi ide, gagasan dan buah pikiran guru yang terpublikasi,” ucap juara pertama guru SMP berprestasi tingkat Provinsi Sumbar tahun 2014. 
Menurut teori psikologi, kata Junaidi, berprestasi merupakan salah satu kebutuhan manusia. Karena itu, budaya berprestasi harus menjadi bagian dari budaya hidup guru. Meraih prestasi gemilang merupakan salah satu cara guru mengukir sejarah.
“Menjadi guru berprestasi tingkat nasional merupakan salah satu pencapaian yang bisa dibanggakan guru dalam sejarah hidupnya. Karena itu, mari membuat sejarah yang bisa dikenang,” pungkasnya. (*)

Muhammad Furqani, Hafiz 30 Juz Al Quran Umur 15 Tahun

Dimuat di Padang Ekspres edisi 15 Juli 2015
”Al Quran Melapangkan Dada Saya”
“Ketek taraja raja gadang ta bao bao tuo tarubah tido.” Ungkapan inilah yang selalu disuntikkan orangtua Muhammad Furqani untuk memotivasi anaknya. Kini, Furqan sukses menjadi hafiz Al Quran 30 juz. Bagaimana ceritanya? 
Masih terngiang di ingatannya, bagaimana didikan orangtua ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Pria kelahiran Padang, 26 April 1989 ini, merupakan salah seorang dari 20 penghapal Al Quran yang “diwisuda” dengan hapalan lengkap 30 juz di Pondok Pesantren Darul Huffazh, Kotobaru, Dharmasraya, tahun lalu.
Tak hanya diwisuda, Furqan yang ditemui Padang Ekspres di kediamannya, Kompleks Polri Bunga Tanjung Indah, Blok D/6 RT 2 RW 8, Kelurahan Batipuhpanjang, Kecamatan Kototangah, Kota Padang, kemarin (14/7), juga menamatkan pendidikan formalnya di MTsN kotobaru.
Di bawah bimbingan ustad Efendi Lubis dan Buya Mukhlis, Furqan terlatih menghapal Al Quran satu halaman per hari. “Saya pindah sekolah ke sana, saat naik ke kelas 5 SD. Saat itulah saya mulai menghapal Al Quran, umur saya waktu itu 10 tahun,” kenangnya.
Ramadhan tahun ini menjadi berkah tersendiri baginya. Furqan ditunjuk sebagai imam tetap shalat Tarawih di Masjid Jabal Rahmah Kompleks Universitas Baiturrahmah, Kelurahan Aiapacah (Bypass), Kecamatan Kototangah, Padang.
Di masjid ini, praktik shalat Tarawih berjumlah 20 rakaat layaknya di Timur Tengah. Satu rakaat sang imam akan membaca setengah halaman Al Quran.
Artinya, satu malam shalat Tarawih Furqan membaca sebanyak setengah juz Al Quran. Total bacaan yang keluar dari hafalannya sampai akhir Ramadhan mencapai 15 juz.
“Alhamdulillah, pengurus masjid meminta saya mempraktikkan bagaimana shalat Tarawih seperti di Timur Tengah. Honornya juga luar biasa, sungguh ini mukjizat Ramadhan yang luar biasa bagi saya,” tuturnya malu-malu.
Satu malamnya, Furqan mendapat honor menjadi imam sebesar Rp 500 ribu. Jika digenapkan 30 malam Ramadhan, tentunya satu bulan itu Furqan berpenghasilan Rp 15 juta.
Kendati masih dalam tahap menyelesaikan tesis pada program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Furqan memantapkan hatinya meminang seorang perempuan cantik, Hafizah.
Tepat pada 7 November 2014 lalu, Furqan mempersunting sang pujaan hatinya yang juga satu angkatan dengannya di MAKN Kotobaru Padangpanjang. Kini, bermodalkan hapalan Al Quran, Furqan bersama istrinya mengarungi bahtera rumah tangga dengan merintis bisnis tour dan travel.
Anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Darmis Darwis dan Wirnawati ini juga menceritakan, bagaimana ustad yang mengasuhnya di pondok tahfiz untuk memotivasinya.
“Dulu ustad tidak memiliki apa-apa. Berkat Al Quran lah kehidupan ustad sampai seperti saat ini. Dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, semuanya merupakan berkah dari bergaul dengan Al Quran,” ujar Furqan menirukan kalimat ustadnya.
Tidak mendapati hambatan saat menghapal Al Quran, tentunya mustahil. Furqan juga manusia biasa. Saat usianya remaja, Furqan sering diperdaya oleh kegemarannya bermain game Play Station. 
Mujur, Furqan tak sampai larut dibawa kegemarannya itu. Sang ustad lah tidak henti-hentinya memberi semangat kepadanya. Motivasi lainnya, lanjut Furqan, dia ingin memberikan mahkota dari emas kepada kedua orangtua di surga kelak.
“Kan ada hadits soal keutamaan menjadi penghafal Al Quran. Nabi Muhammad SAW menjanjikan mahkota dari emas di surga bagi orangtua para penghafal Quran,” terangnya.
Setelah mengkhatamkan 30 juz Al Quran, Furqan merasakan hidupnya benar-benar lapang dan banyak kemudahan diperolehnya dari jalan tak terduga.
“Secara bathin, Al Quran melapangkan dada saya. Secara duniawi, Al Quran juga memberi saya segalanya. Sudah mengikuti ajang MTQ ke berbagai daerah, misalnya. Sering menjadi imam di masjid berbeda-beda tiap tahunnya. Intinya, tidak bisa saya sebutkan satu per satu,” ujarnya.
Furqan sendiri sudah tiga kali mewakili Sumbar mengikuti perlombaan MTQ cabang hafalan Quran tingkat nasional. Mulai MTQ di Mataram, Nusa Tenggara Barat tahun 2002, kemudian Jakarta tahun 2005, dan Kendari, Sulawesi Tengah tahun 2006.
Semasa kuliah di Universitas Al Azhar, Furqan mengukir prestasi dalam kompetisi internasional Al Quran di Kairo, Mesir. Bersaing dengan delapan negara peserta lainnya, Furqan berhasil meraih ranking empat pada cabang 20 juz.
Orangtuanya juga sering memberi reward uang saku, bila Furqan berhasil meraih prestasi atau menghapal satu surat Al Quran tertentu. Selain itu, satu hari satu halaman merupakan target pondok tahfiz yang harus diselesaikannya.
Furqan memiliki teknik khusus dalam menghafal Al Quran. Dia membagi halaman Al Quran menjadi seperempat. Seperempat pertama dihapal baru masuk, dan berlanjut sampai satu halaman. Kemudian, dia mengulangnya secara bersamaan.
Setoran hafalan sendiri dilakukan setiap hari kepada usta Efendi Lubis atau Buya Mukhlis. “Pondok Al Quran itu dihuni berbeda usia. Ada masih SD, tsanawiyah dan ada pula aliyah. Semuanya saling menyemangati dan berpacu dalam menghafal,” katanya. (*)

Hafiz 10 Juz, Auva Nur Hadi

Dimuat di padang Ekspres edisi 12 Juli 2015

Persiapkan Mahkota Emas Buat Orangtua
Putra kebanggaan Suhardi Amir dan Nur Asma yang dilahirkan 26 November 1998 itu terus hanyut dengan hafalan Quran-nya. Dijumpai Padang Ekspres di mushola Surau Jambak, jalan Gajah Mada, Gunungpangilun Padang, Auva tampak berkomat kamit sendiri.
Usai shalat Zuhur kala itu, Kamis (2/7), sekitar pukul 12.30. Auva Nur hadi yang akrab disapa Auva terlihat menggeser posisi duduknya ke dinding mushola. Lalu mengambil Al Quran, lantas membacanya. Menariknya, Auva hanya sesekali memandangi Alquran itu. Selebihnya, dia membaca tanpa melihat teks.
Auva pernah menjadi juara I pada MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Kota Padang tahun 2014 lalu, saat itu Auva tampil sebagai muazin dalam cabang lomba khutbah Jumat. Setahun sebelumnya, pada ajang perlombaan yang sama di Pasaman Barat, Auva mampu finis di posisi ke dua.
Anak pertama dari empat bersaudara ini sempat mengenyam pendidikan kelas satu di MTsN Padangpanjang, Aufa kemudian pindah sekolah ke MTsN Koto Baru Darmashraya. Di sanalah dia mulai menghafal Al Quran. Auva tinggal di salah satu pondok tahfiz di kabupaten termuda di Sumbar itu.
Kini Auva sedang mempersiapkan hafalan Quran 10 Juz untuk mengikuti MTQ Nasional tingkat Sumbar di Kota Sawahlunto, yang dihelat November mendatang. Sepanjang Ramadhan 2015 ini, tidak banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain, berbeda dengan siswa SLTA lainnya.
Usai subuh hingga jam 8 pagi dirinya harus menghafal Al Quran di Pondok pesantren Darul Huffazh, tempatnya menginap. Dari Jam 08.00 Auva mengikuti pesantren Ramadhan. Kemudian jam 11.00 sampai sholat Zuhur Auva menghafal Al Quran lagi. Jam istirahatnya hanyalah sehabis Zuhur sampai Ashar.
Kendati demikian, waktu tersebut juga dipakainya untuk mengulangi hafalannya. ”Kadang kalau jenuh main bola bersama teman, itu khusus untuk sore hari Jumat saja, hari lainnya tidak ada izin. Ustadz mewajibkan menghafal Quran usai shalat Ashar sampai 17.30,” jelasnya.
Bercerita tentang hafalan Quran yang dimilikinya, Auva tampak malu-malu. ”Saat ini baru sampai surat al-A’raf, 3 lembar lagi baru masuk juz ke sembilan,” katanya sambil menunjukkan Al Quran yang tadi dibacanya.
Auva menuturkan, menghafal Al Quran bukan berarti mudah. Seringkali dia menemukan godaan dan rintangan.
”Lidah sering patah-patah kalau bertemu dengan kosakata baru. Hal inilah yang sangat menyita pikiran dan waktu. Disamping itu, membagi waktu untuk mengulanginya juga sangat susah,” tutur siswa ber behel itu.
Ditanya mengenai motivasinya menghafal Al Quran, Auva tertegun sejenak dan tampak memikirkan kosa katanya.
”Saya termotivasi oleh teman-teman di sini. Bahkan ada yang bisa menghafal satu juz dalam dua hari. Kabarnya dia menghafal saat tengah malam, saya coba tapi malah ketiduran memegang Al Quran,” tutur Auva.
Motifasi lainnya, lanjut Auva, dia ingin memberikan mahkota dari emas kepada ke dua orang tua di syurga kelak. ”Kan ada hadits tentang keutamaan menjadi penghafal Al Quran. Nabi Muhammad SAW menjanjikan mahkota dari emas di surga bagi orangtua para penghafal Quran,” terangnya.
Selain itu, Auva mengaku belum pernah naik pesawat terbang. Hal ini juga menjadi pemicu semangat yang tertanam kuat di dalam dirinya.
”Saya ingin setelah tamat SMA nanti bisa kuliah di Madinah, Arab Saudi. Selama ini saya belum pernah naik pesawat. Kata ayah, kalau ingin naik pesawat perbanyak hafalan, nanti dengan sendirinya akan sering keluar daerah mewakili Sumbar lomba hafalan Quran,” ucap Auva malu-malu mengenang kalimat ayahnya.
Sebagai sesama remaja dan sesama siswa SLTA, Auva tentunya sering digoda temannya untuk ngumpul bareng, namun Auva lebih prioritaskan menghafal Quran.
”Kadang kawan sering mengajak jalan keluar untuk ngumpul bareng, susah untuk menolaknya. Sesekali kalau jam pelajaran kosong atau pulang lebih cepat, baru saya mau. Itupun hanya untuk main futsal atau main PS sekitar satu jam saja. Lebih dari itu, saya tetap utamakan hafalan,” katanya. (*)

Elyanti Fajri, Dokter yang Membina Keluarga Penghafal Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 22 May 2015
http://www.koran.padek.co/read/detail/27091

Bentuk Kepribadian, Ajak Anak Tadarus 
Rumah yang tidak dibacakan Al Quran bagaikan kuburan. Saat kebanyakan keluarga lebih mementingkan pendidikan formal, tidak demikian dengan keluarga satu ini. Bagi pasangan Elyanti Fajri dan Budiman, pendidikan berbasis Al Quran menjadi jalur utama membentuk kepribadian anak. Bagaimana ceritanya?
Menikah di usia muda tidak selalu menjadi faktor kegagalan dalam berumah tangga. Buktinya, pasangan Elyanti Fajri dan Budiman menikah saat keduanya masih berusia 24 tahun dan belum memiliki penghasilan tetap.
Kala itu, Budiman masih menyelesaikan skripsi sarjana (S-1) di IAIN Imam Bonjol Padang, sedangkan istrinya Elyanti Fajri menjalani praktik koas di Fakultas Kedokteran Unand.
Dalam 21 tahun pernikahan, pasangan ini telah dikaruniai 7 orang anak, yakni Muhammad Sahuddin Al Fatih (Fatih), M Ansharudin Al Furqony (Furqon), M Ramadhan Al Fikri (Fikri), M Syahid Al Falah (Falah), M Fadhli Al Multazim (Fadhli), Nida Ul Faizah (Faizah) dan M Arsyad Al Fahmi( Fahmi).
Anak-anak itu menjadi penyejuk kehidupan rumah tangga mereka. Elyanti Fajri yang akrab disapa dokter El, berdomisili di Kompleks Perumahan Puri Lestari H2 RT02/RW06 Kelurahan Paraklaweh Nan XX, Kecamatan Lubukbegalung, Padang.
Sebagai dokter sekaligus istri dari seorang anggota legislatif, membesarkan dan mendidik tujuh buah hati tentu menuntut perhatian dan konsentrasi luar biasa.
Selain tujuh anak kandung, keluarga ini juga mengangkat Amirul Ma’ruf sebagai anak mereka. Amirul merupakan rekan sebaya Fatih di pesantren yang hidup dalam keadaan yatim piatu.
Ketika masih balita, dia telah ditinggal wafat sang ibu. Masuk sekolah tingkat tsanawiyah, ayahnya juga menghembuskan nafas terakhir. Kini Amirul yang hafal Al Quran berkisar 20 juz menjadi anggota kesepuluh keluarga Elyanti dan Budiman.
Prioritaskan Al Quran
Dijumpai Padang Ekspres di ruangan praktiknya, Selasa (5/5) lalu, Elyanti membeberkan rahasianya menciptakan keluarga penghafal Al Quran.
“Salah satu tipsnya, orangtua, baik itu sang ayah maupun si ibu harus kompak memprioritaskan Al Quran dalam pendidikan anak-anak. Apabila berkumpul, biasakan tadarus bareng. Jadikan Al Quran sebagai pengantar tidur si anak,” ujarnya.
Elyanti mengatakan pentingnya menghiasi rumah dengan bacaan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari.
“Al Quran adalah cahaya. Rumah yang tidak dibacakan Al Quran bagaikan kuburan. Sehingga apabila rumah sudah menjadi Baity Jannaty, maka tugas orangtua akan menjadi lebih ringan. Membentuk kepribadian anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Dalam setiap kesempatan, tambahnya, orangtua dianjurkan senantiasa memotivasi anak dalam menghafal Al Quran.
Apabila sang ayah yang bertugas di Komisi I DPRD Padang menjalani kunjungan kerja keluar daerah dan ditemani dokter El, mereka tidak lupa mengingatkan anak untuk tetap mengulangi hafalan Quran.
“Kalau berada jauh dari anak, komunikasi seluler bisa menjadi penghubung. Tanyakan hafalan dan minta si anak menyetorkan hafalan mereka melalui HP. Yang penting jangan sampai lupa memberi contoh yang baik,” katanya.
Apabila sang anak mulai malas dan jenuh, sang dokter kembali memberikan siraman rohani kepada mereka.
"Kalau mereka malas, saya menyemangati mereka dengan mengatakan kita akan menuju akhirat. Al Quran adalah sahabat paling setia menemani dan menjadi pembela kita kelak di hadapan Allah SWT,” tutur El. Dokter  El juga memberikan variasi tegas dan lunak dalam mendidik anak.
“Silahkan jadi apa saja. Kalau jadi presiden jadilah presiden yang hafal Quran, kalau jadi menteri jadilah menteri yang hafal Quran. Kalau disuruh shalat atau mengaji, namun masih menonton TV, secara tegas TV akan dimatikan langsung,” ujarnya.
Anak yang memiliki hafalan Al Quran menurut Elyanti juga menjadi contoh bagi teman bergaul anak.
“Anak yang bertengkar satu sama lain sudah menjadi lumrah di usia mereka. Namun dengan modal Al Quran, emosi mereka akan cepat reda. Godaan lingkungan tentu juga tidak dapat dinafikan, tapi anak yang hafal Al Quran akan lebih menjaga diri dan menjadi panutan teman sebaya lainnya,” tuturnya.
Pada bulan Ramadhan, bila anak mereka mencapai target diberikan reward kusus. Di ajak jalan-jalan atau sekurang-kurangnya diizinkan waktu lebih untuk istirahat main game dan nonton tv. Pada hari libur, setiap anggota keluarga wajib menjalani program 30 menit membaca Al Quran.
“Bahkan ketika  homestay di Sawahlunto, di penginapan kami tetap berlomba membaca Al Quran,” katanya. Menurut El, anak pertama harus dijadikan figur bagi adik-adiknya. Ketika salah mendidik anak pertama, maka akan susah untuk membentuk karakter anak setelahnya.
“Pernah suatu ketika Fadhli (anak kelima) ditanyai guru yang melakukan seleksi masuk Ar-Risalah tentang motivasi memilih pesantren. Dengan lugas Fadhli menjawab, Fadhli ingin seperti bang Fatih yang hafal Al Quran,” terang dokter El menirukan ucapan anaknya. (*)

Rusydi Haris: Dua Hari, Hafal 1 Juz Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 9 Agustus 2015

Haris, sapaan akrab remaja kelahiran Solok, 28 Juni 2000 ini. Buah hati pasangan Rusliadi dan Azrita Rahmadani ini pantas diacungkan jempol. Bagaimana tidak, diusianya yang baru beranjak 15 tahun, Haris telah menghafal 16 juz Al Quran. Dalam dua hari, ditargetkan mampu menghafal satu juz Firman Tuhan.
Di Pondok Pesantren Darul Huffazh di Jalan Gajah Mada No 24 Gunungpangilun Padang inilah Haris mendulang hafalan Al Quran di bawah bimbingan ustaz Abdurrahman. Saat ini Haris duduk di bangku kelas tiga, setingkat SMP.
“Kebetulan paman saya kenal dengan salah satu ustaz yang mengajar di sini. Saya ditawarkan untuk menghafal Al Qran dan diajak ke Padang. Mendengar hal itu saya senang. Orang tua pun juga mendukung. Akhirnya saya menerima tawaran paman,” ujar anak kedua dari sembilan bersaudara itu saat ditemui Padang Ekspres, di Ponpes Darul Huffazh, awal Agustus lalu.
Haris mulai menghafal Alquran sejak masuk pondok pesantren, kelas VII di sekolah umum atau kelas satu SLTP. Hebatnya, naik ke kelas III hapalannya sudah 16 juz.
Hapal 30 juz Alquran sebelum UN kelas 3 adalah target utama yang diidam-idamkannya. Untuk itu Haris telah membulatkan tekad, memaksimalkan kemampuan menghapal 10 halaman atau setengah juz dalam sehari semalam.
Kiat utama Haris dalam menghafal Al Quran adalah dengan menggunakan Al Quran yang memiliki terjemahan per kata. Dengan demikian, menurutnya, kosa kata Al Quran yang sulit diucapkan dapat dipahami terlebih dulu.
“Kalau suatu lafaz sulit diucapkan, saya cari tahu artinya terlebih dulu. Kemudian saya mencari waktu yang paling mudah untuk menghafal. Waktu jelang Subuh favorit saya, karena saat itu otak masih fresh,” kata alumni SDN 04 Pantai Cermin, Kabupaten Solok ini.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kejenuhan, tambah Haris, juga harus segera diatasi. Kalau pikiran tidak fokus menghafal Al Quran tidak boleh dipaksakan.
“Satu kesempatan menghafal Al Quran, jangan dipergunakan terlalu lama. Saya akan jenuh dan bosan. Saya juga mewanti-wanti agar tidak disibukkan oleh handphone,” jelasnya.
Haris juga sabar dalam perantauannya menuntut ilmu dan mengejar target hafalan. Berpisah dengan orang tua dan adik-adiknya tidak membuatnya berkecil hati. Pulang kampung hanya sekali 5 bulan, atau ada hal mendesak saja. “Namonyo menuntut ilmu tu yo baitu,” tuturnya dalam logat Solok.
Menghilangkan efek jenuh, sekali dalam seminggu, Haris biasanya menghabiskan waktu dua jam untuk bermain bola dengan rekan-rekannya sesama penghafal Al Quran.
Kalau sudah jenuh, sekali seminggu dia ikut bergabung dengan teman-teman bermain bola. Atau jika ada izin dari ustaz, biasanya pergi nonton bola. Menurutnya, menggunakan waktu sebaik-baiknya adalah suatu keharusan setiap remaja seusianya.
“Remaja identik dengan kenakalan, karenanya harus perbanyak ibadah. Suko ka lawan jenis tentu ado, mengutarakannya saya ndak bisa, saya malu. Jadi lebih baik menghafal Al Quran saja,” ujarnya sambil tertawa.
Menghadiahkan orang tua sebuah mahkota dari emas di syurga dan memberikan syafaat kepada 10 famili adalah landasan utama niatnya menjadi seorang penghafal Al Quran.
“Jalan di jalur awak se, kalau jalurmu menghapal Quran ya hafal lah Quran. Kalau melenceng dari jalur ibarat maksud tak kesampaian,” ucap Haris menirukan pesan ke dua orangtuanya.
Kini berbagai prestasi telah ditorehkannya. Diantaranya, juara II pada MTQ cabang Hifzil 5 juz plus Tilawah di Kabupaten Solok tahun 2014. Pada ajang yang sama di tahun sama, Haris juga berhasil meraih juara II ketika dihelat di Kota Padang.
Selain itu, dia juga pernah mengikuti perlombaan di cabang hafiz 10 juz dalam MTQ antarpelajar se-Sumbar yang dilaksanakan Ponpes Ar Risalah. Haris mampu finish di peringkat ke-III. Dalam waktu dekat Haris akan mewakili Sumbar dalam ajang STQ Nasional di Jakarta, 4 Agustus. (*)