Dimuat di Padang Ekspres edisi 28 Maret 2015
Sukses Antarkan Anak jadi Dosen
Kasih orangtua memang tak berbatas, walau harus berkalang nyawa demi
menghidupi keluarganya. Inilah yang dilakoni Gaek Kiri,73, yang
berprofesi sebagai penambang sirtukil di aliran sungai Gunungnago.
Bagaimana kisahnya?
Melewati jembatan Gunungnago sepasang mata dapat menyaksikan
aktivitas penambangan pasir batu kerikil (sirtukil) di sepanjang aliran
sungai.
Aktivitas yang menjadi mata pencaharian warga setempat sejak puluhan
tahun lalu itu kian memprihatinkan. Kerap kali penambangan pasir
dilakukan di area pondasi tiang-tiang jembatan. Dampaknya jelas,
keselamatan pengguna jembatan ikut terancam.
Membelah kerumunan penambang pasir ini, Rabu (25/3), Padang Ekspres
bertemu dengan sosok pria berusia 73 tahun bernama gaek Kiri. Setengah
abad dari usianya ditasbihkan sebagai penambang pasir Gunungnago.
Kiri menggigil kedinginan setelah menyusuri sungai untuk menambang
kerikil. Berbeda dengan para penambang lainnya kiri tampak kalah
bersaing dari segi usia dan tenaga.
Jika mayoritas rekannya berusia muda, mampu menambang kerikil menggunakan benen bekas truk sebanyak 12 kali keluar masuk sungai, Kiri hanya mampu seperenam dari total itu.
“Ambo lah tuo, lah pandingin badan, skali duo kali taloknyo,” (saya
sudah tua, mudah kedinginan, hanya sekali dua kali yang saya mampu, red)
begitu bibirnya berucap seraya menenteng sekopnya ke arah warung di
pinggir sungai.
Seraya melepas lelah di warung, Kiri, warga RT 02/02, Kelurahan
Kapalokoto, Kecamatan Pauh itu mulai bercerita perihal kesehariannya
menjadi penambang sirtukil.
Dalam kesehariannya Kiri tinggal dengan istrinya saja, meski sesekali
tiga orang anaknya yang masih lajang, singgah dalam perjalanan untuk
bermalam. Dari 12 orang anak Kiri, tiga anak lelaki terakhirnya inilah
yang berprofesi sebagai sopir truk angkutan, itupun seringkali bertolak
keluar Kota Padang.
“Hanya anak tertua saja yang mau sekolah, yang lain juga selalu bapak daftarkan, tapi mereka enggan bersekolah,” ucap gaek.
Sementara 6 orang anak perempuannya menjadi ibu rumah tangga dan
tinggal dengan keluarga mereka masing-masing. Anak laki-laki tertua gaek
Kiri terbilang berhasil.
Setelah dikuliahkan di salah satu perguruan tinggi negeri di
Yogyakarta, saat ini si sulung berprofesi sebagai dosen di Universitas
Andalas Padang.
Dikaruniai sembilan belas orang cucu tidak lantas menghentikan
rutinitas gaek. Berbekal secangkir kopi dan sepotong kue, belum pukul
07.00 gaek sudah berada dibibir sungai.
Sebelum terjun ke sungai, gaek terlebih dahulu mengawali pekerjaannya
memecah batu. Hal itu dilakoninya untuk memancing keringat agar selaras
dengan dinginnya air sungai.
Kadang apabila azan shalat Ashar berkumandang pukul 16.00 sore, barulah gaek bertolak menuju rumahnya mencari sepiring nasi.
“Kalau ada nasi saya makan di rumah, kalau tidak bertemu nasi saya
balik lagi ke sini memecah batu,” tutur Gaek yang sudah menjadi
penambang sirtukil sejak usianya beranjak 25 tahun.
Berbicara mengenai hari libur, justru bagi Kiri dengan tidak bekerja sehari saja, malamnya tidak bisa tidur.
“Sudah 73 tahun umur bapak, alhamdulillah belum pernah sakit yang
menuntut istirahat seminggu, paling hanya demam satu atau dua hari sudah
bisa bekerja lagi. Harus mengeluarkan keringat setiap hari supaya tetap
sehat,” tegas Kiri.
Pasir tak Laku, Beras dihutang
Jembatan Gunung Nago yang terletak di kelurahan Kapalokoto merupakan
jalur alternatif yang menghubungkan Kecamatan Pauh dan kecamatan
Kuranji.
Di sinilah sekitar 30 an warga beraktivitas sebagai penambang
sirtukil. Berbeda dengan penambang sirtukil kawasan lain yang
menggunakan perahu, di aliran sungai Gunung Nago penambang memakai benen
bekas truk yang dibentuk sedemikian rupa.
Gaek Kiri usianya memang tak muda lagi, namun semangatnya tak kunjung
pudar. Setelah tubuhnya kering dari guyuran air sungai, kiri kembali ke
tumpukan bebatuan sungai yang telah delapan bulan dikumpulkannya.
Dengan sebuah palu tumpul dan sejengkal pahat besi, gaek mulai
mengayunkan lengannya memecah bebatuan itu hingga terbelah menjadi
kepingan – kepingan sekepalan tinju.
Apabila tidak ada mobil yang datang membeli kerikil, ayah dari 12
orang anak itu tidak pernah mengeluhkan keadaan. “Walau pasir saya tak
terjual hari ini besok pasti laku juga, masalah beras bisa dihutang
dulu,” ucapnya optimis.
Tidak hanya kerikil yang dikumpulkan gaek dua benen sehari, usahanya
juga mencakup menumpuk bebatuan sungai dari yang di angkat penambang
pasir dari kalangan anak-anak.
“Kalau bebatuan yang sudah dipecah ini laku baru bapak berduit. Satu
truk colt diesel muatan lima kubik, bebatuan bisa terjual satu juta
rupiah. Ini sudah delapan bulan belum terjual,” ungkapnya sambil
menunjuk beberapa titik tumpukan batu.
Benar saja, kegundahan hati gaek tampak terobati seketika sebuah
mobil L300 bergerak pelan memasuki area pertambangan sirtukil
Gunungnago.
“Gaek ko dulu, gaek ko dulu,” sorak rekan-rekan Kiri sesama penambang
pasir. Begitu mesin mobil mati, Buyuang dan Iyud dengan sigap mengambil
sekop dan mulai mengisi mobil itu dengan kerikil kepunyaan gaek Kiri.
Di kawasan Gunungnago, pasir dan kerikil dihargai Rp 75.000 untuk
satu mobil jenis L300. Setelah dipotong upah muat Rp 10.000, para
penambang memperoleh uang bersih Rp.65.000.
“Lai ka batanak juo urang di rumah,” dengan nada pelan, gaek Kiri
tersenyum sendiri melihat kerikil miliknya beralih ke mobil pembeli.
“Dulu bapak pernah sesekali bekerja sebagai pemborong rumput di
kampus Unand, sehari bapat dapat memperoleh sampai Rp 200 ribu. Angka
segitu dulu sudah sangat banyak, belum lagi ditambah penjualan rumput
yang terkumpul,” tutur gaek mengenang kejayaannya saat muda.
Mengenai aktivitas pertambangan sirtukil Gunungnago, pengamat sosial
Universitas Andalas, Elfitra menyayangkan kegalauan pemerintah kota
(Pemko) Padang dalam menentukan sikap.
“Pemerintah tampak dilema, peran pemerintah sebagai regulator
harusnya membentuk kebijakan yang tepat. Persoalan ini sudah berlangsung
lama, pemerintah sepatutnya menyelasaikan permasalahan dari akarnya.
Misal, pelarangan aparat ikut andil membeli pasir ilegal, menentukan
harga yang layak dan sebagainya,” jelas ketua jurusan Sosiologi Unand
Padang itu.
Elfitra yang dijumpai Padang Ekspres Rabu (25/3) diruangannya menyatakan, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
“Apabila memang hanya itu satu-satunya pencaharian warga, Pemko
beserta seluruh SKPD bertanggung jawab mencarikan pekerjaan lain. Bisa
dengan membangun perusahaan daerah bidang penambangan sirtukil dan
mengangkat pekerja dari mereka ini. Atau dengan mengembangkan sektor
industri dari bebatuan sungai, melatih masyarakat sebagai pengrajin batu
dengan karya yang bernilai jual tinggi,” ucap Elfitra. (*)