Teringat dan Terkenang

Untuk menyingkap sisi lain batu nisanku kelak dimana hanya ada nama, kelahiran dan kematian, maka aku menulis!

Selasa, 18 Agustus 2015

Kisah Gaek Kiri, Penambang Pasir di Gunungnago

Dimuat di Padang Ekspres edisi 28 Maret 2015

Sukses Antarkan Anak jadi Dosen
Kasih orangtua memang tak berbatas, walau harus berkalang nyawa demi menghidupi keluarganya. Inilah yang dilakoni Gaek Kiri,73, yang berprofesi sebagai penambang sirtukil di aliran sungai Gunungnago. Bagaimana kisahnya?
Melewati jembatan Gunungnago sepasang mata dapat menyaksikan aktivitas penambangan pasir batu kerikil (sirtukil) di sepanjang aliran sungai.
Aktivitas yang menjadi mata pencaharian warga setempat sejak puluhan tahun lalu itu kian memprihatinkan. Kerap kali penambangan pasir dilakukan di area pondasi tiang-tiang jembatan. Dampaknya jelas, keselamatan pengguna jembatan ikut terancam.
Membelah kerumunan penambang pasir ini, Rabu (25/3), Padang Ekspres bertemu dengan sosok pria berusia 73 tahun bernama gaek Kiri. Setengah abad dari usianya ditasbihkan sebagai penambang pasir Gunungnago.
Kiri menggigil kedinginan setelah menyusuri sungai untuk menambang kerikil. Berbeda dengan para penambang lainnya kiri tampak kalah bersaing dari segi usia dan tenaga.
Jika mayoritas rekannya berusia muda, mampu menambang kerikil menggunakan benen bekas truk sebanyak 12 kali keluar masuk sungai, Kiri hanya mampu seperenam dari total itu.
“Ambo lah tuo, lah pandingin badan, skali duo kali taloknyo,” (saya sudah tua, mudah kedinginan, hanya sekali dua kali yang saya mampu, red) begitu bibirnya berucap seraya menenteng sekopnya ke arah warung di pinggir sungai.
Seraya melepas lelah di warung, Kiri, warga RT 02/02, Kelurahan Kapalokoto, Kecamatan Pauh itu mulai bercerita perihal kesehariannya menjadi penambang sirtukil. 
Dalam kesehariannya Kiri tinggal dengan istrinya saja, meski sesekali tiga orang anaknya yang masih lajang, singgah dalam perjalanan untuk bermalam. Dari 12 orang anak Kiri, tiga anak lelaki terakhirnya inilah yang berprofesi sebagai sopir truk angkutan, itupun seringkali bertolak keluar Kota Padang. 
“Hanya anak tertua saja yang mau sekolah, yang lain juga selalu bapak daftarkan, tapi mereka enggan bersekolah,” ucap gaek.
Sementara 6 orang anak perempuannya menjadi ibu rumah tangga dan tinggal dengan keluarga mereka masing-masing. Anak laki-laki tertua gaek Kiri terbilang berhasil.
Setelah dikuliahkan di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, saat ini si sulung berprofesi sebagai dosen di Universitas Andalas Padang.
Dikaruniai sembilan belas orang cucu tidak lantas menghentikan rutinitas gaek. Berbekal secangkir kopi dan sepotong kue, belum pukul 07.00 gaek sudah berada dibibir sungai.
Sebelum terjun ke sungai, gaek terlebih dahulu mengawali pekerjaannya memecah batu. Hal itu dilakoninya untuk memancing keringat agar selaras dengan dinginnya air sungai.
Kadang apabila azan shalat Ashar berkumandang pukul 16.00 sore, barulah gaek bertolak menuju rumahnya mencari sepiring nasi.
“Kalau ada nasi saya makan di rumah, kalau tidak bertemu nasi saya balik lagi ke sini memecah batu,” tutur Gaek yang sudah menjadi penambang sirtukil sejak usianya beranjak 25 tahun.
Berbicara mengenai hari libur, justru bagi Kiri dengan tidak bekerja sehari saja, malamnya tidak bisa tidur.
“Sudah 73 tahun umur bapak, alhamdulillah belum pernah sakit yang menuntut istirahat seminggu, paling hanya demam satu atau dua hari sudah bisa bekerja lagi. Harus mengeluarkan keringat setiap hari supaya tetap sehat,” tegas Kiri. 
Pasir tak Laku, Beras dihutang 
Jembatan Gunung Nago yang terletak di kelurahan Kapalokoto merupakan jalur alternatif yang menghubungkan Kecamatan Pauh dan kecamatan Kuranji.
Di sinilah sekitar 30 an warga beraktivitas sebagai penambang sirtukil. Berbeda dengan penambang sirtukil kawasan lain yang menggunakan perahu, di aliran sungai Gunung Nago penambang memakai benen bekas truk yang dibentuk sedemikian rupa.
Gaek Kiri usianya memang tak muda lagi, namun semangatnya tak kunjung pudar. Setelah tubuhnya kering dari guyuran air sungai, kiri kembali ke tumpukan bebatuan sungai yang telah delapan bulan dikumpulkannya.
Dengan sebuah palu tumpul dan sejengkal pahat besi, gaek mulai mengayunkan lengannya memecah bebatuan itu hingga terbelah menjadi kepingan – kepingan sekepalan tinju.
Apabila tidak ada mobil yang datang membeli kerikil, ayah dari 12 orang anak itu tidak pernah mengeluhkan keadaan. “Walau pasir saya tak terjual hari ini besok pasti laku juga, masalah beras bisa dihutang dulu,” ucapnya optimis.
Tidak hanya kerikil yang dikumpulkan gaek dua benen sehari, usahanya juga mencakup menumpuk bebatuan sungai dari yang di angkat penambang pasir dari kalangan anak-anak.
“Kalau bebatuan yang sudah dipecah ini laku baru bapak berduit. Satu truk colt diesel muatan lima kubik, bebatuan bisa terjual satu juta rupiah. Ini sudah delapan bulan belum terjual,” ungkapnya sambil menunjuk beberapa titik tumpukan batu.
Benar saja, kegundahan hati gaek tampak terobati seketika sebuah mobil L300 bergerak pelan memasuki area pertambangan sirtukil Gunungnago. 
“Gaek ko dulu, gaek ko dulu,” sorak rekan-rekan Kiri sesama penambang pasir. Begitu mesin mobil mati, Buyuang dan Iyud dengan sigap mengambil sekop dan mulai mengisi mobil itu dengan kerikil kepunyaan gaek Kiri.
Di kawasan Gunungnago, pasir dan kerikil dihargai Rp 75.000 untuk satu mobil jenis L300. Setelah dipotong upah muat Rp 10.000, para penambang memperoleh uang bersih Rp.65.000.
“Lai ka batanak juo urang di rumah,” dengan nada pelan, gaek Kiri tersenyum sendiri melihat kerikil miliknya beralih ke mobil pembeli.
“Dulu bapak pernah sesekali bekerja sebagai pemborong rumput di kampus Unand, sehari bapat dapat memperoleh sampai Rp 200 ribu. Angka segitu dulu sudah sangat banyak, belum lagi ditambah penjualan rumput yang terkumpul,” tutur gaek mengenang kejayaannya saat muda.
Mengenai aktivitas pertambangan sirtukil Gunungnago, pengamat sosial Universitas Andalas, Elfitra menyayangkan kegalauan pemerintah kota (Pemko) Padang dalam menentukan sikap.
“Pemerintah tampak dilema, peran pemerintah sebagai regulator harusnya membentuk kebijakan yang tepat. Persoalan ini sudah berlangsung lama, pemerintah sepatutnya menyelasaikan permasalahan dari akarnya. Misal, pelarangan aparat ikut andil membeli pasir ilegal, menentukan harga yang layak dan sebagainya,” jelas ketua jurusan Sosiologi Unand Padang itu.
Elfitra yang dijumpai Padang Ekspres Rabu (25/3) diruangannya menyatakan, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
“Apabila memang hanya itu satu-satunya pencaharian warga, Pemko beserta seluruh SKPD bertanggung jawab mencarikan pekerjaan lain. Bisa dengan membangun perusahaan daerah bidang penambangan sirtukil dan mengangkat pekerja dari mereka ini. Atau dengan mengembangkan sektor industri dari bebatuan sungai, melatih masyarakat sebagai pengrajin batu dengan karya yang bernilai jual tinggi,” ucap Elfitra. (*)

Pondok Esek-esek Menjamur di Pasirjambak

Dimuat di Padang Ekspres dan Riau Pos edisi 10 Maret 2015



Pemko Padang masih butuh kerja keras untuk memberantas praktik maksiat di ibu kota Sumbar ini. Setelah payung ceper di Pantai Padang diberangus dan objek wisata kawasan Bungus gencar dirazia, kini objek wisata Pasirjambak dijadikan alternatif untuk bermesum ria.     
Pantauan Padang Ekspres, Kamis (5/3) siang lalu, setidaknya ada enam pasangan sedang asyik berduaan dalam pondok-pondok tertutup di pinggir pantai tersebut. Suasana sepi dan jauh dari keramaian seakan mendukung muda-mudi itu melakukan praktik esek-esek. 
Tidak hanya kawula muda, pasangan yang sudah berumur dan menggunakan mobil pun memilih tempat tersebut untuk berbuat mesum. Hanya memesan dua botol minuman seharga Rp 25.000, pengunjung bisa leluasa di pondok tersebut. 
“Kalau di sini, biasanya pengunjung memang untuk bermesraan,  sedangkan di sebelah sana (pondok yang terbuka, red), yang datang rata-rata rombongan keluarga dan anak-anak untuk liburan,” ungkap pemilik pondok yang enggan ditulis namanya setelah mengantar minuman pesanan pengunjung.
Eri, 40, warga setempat, termasuk yang gerah dengan keberadaan pondok esek-esek itu. “Selain sarang maksiat juga merusak pemandangan. Lebih mirip kandang ayam,” ujarnya.
Ketua pemuda setempat Syahrial, 43, mengakui keberadaan pondok-pondok tersebut sering memicu perselisihan antarwarga. “Kami tidak mau lagi ricuh gara-gara mempermasalahkan pondok-pondok itu,” ucapnya.
Pemilik pondok lainnya yang enggan menyebutkan nama, mengaku Januari lalu pondok miliknya telah dibongkar petugas Pemko.
“Camat, Dinas Pariwisata, LPM, dan petugas kelurahan telah datang ke sini bulan Januari untuk menyuruh kami membuka penutup pondok. Karena sepi pengunjung selama 2 bulan berturut-turut, kami terpaksa memasang penutup itu lagi,” ujar wanita paruh baya itu.
Selain beralasan sebagai mata pencarian satu-satunya, ia juga berdalih apabila penutupnya dibuka, pengunjung beralih ke hotel atau penginapan yang terdapat di jalan masuk pantai. “Jika dikatakan ini tempat maksiat, silakan. Tapi, mau gimana lagi, kami hanya mencari makan,” ujarnya.
Lain lagi Rosni, 54, pemilik pondok-pondok yang terbuka. Walau sepi pengunjung, lokasi yang disewa Rosni selama 2 tahun itu masih memberikan pemasukan untuk kebutuhannya sehari-hari.
Dengan tujuh unit pondok yang dimilikinya, hari-hari kerja Rosni mengaku memperoleh pemasukan Rp 50.000 sampai 80.000 sehari. Sedangkan hari Minggu atau hari libur, pemasukannya bisa Rp 200.000 sehari. “Biarlah sepi pengunjung yang penting uang yang diperoleh halal untuk dimakan,” ungkapnya. 
Lurah Pasie Nantigo, Satria menyebutkan, pedagang yang memiliki pondok esek-esek sudah diingatkan Januari 2015 lalu agar membuka penutup pondoknya.
“Kalau memang sekarang sudah dibuka lagi, nanti akan kami komunikasikan dengan tim untuk langkah selanjutnya,” ujarnya  saat dihubungi Padang Ekspres kemarin. 
Satria mengaku tidak sanggup menasihati pemilik pondok secara individu. “Kalau menasihati langsung surang-surang yo ndak talok ambo do,” ungkapnya. (*)

Junaidi, Guru SMP Berprestasi Tingkat Nasional

Dimuat di Padang Ekspres edisi 27 July 2015

Rajin Menulis Artikel di Media Massa
Saat sebagian guru terjebak dalam rutinitas mengajar, pulang dan mengajar lagi, Junaidi punya kegiatan lain yang mengasyikkan. Pria ini memilih menyumbangkan pikirannya dalam bentuk penulisan artikel pendidikan ke di media massa.
Atas dedikasi tersebut, Junaidi didapuk penghargaan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan pada Mei lalu. Junaidi salah satu perintis Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak di kawasan pinggiran Kota Padang.
Pria kelahiran 14 Juni 1977 ini dapat mengubah imej SMP 35 Padang yang diwakilinya. Meski berasal dari daerah pinggiran, tak berarti siswa dan gurunya minim prestasi. Junaidi mampu membuat SMP 35 Padang dapat bersanding dengan berbagai sekolah favorit lainnya di Kota Padang.
Pria kelahiran Balairupi, 14 Juni 1977 ini mengabdikan hidupnya untuk menjadi tenaga pengajar di SMP Negeri 35 Padang sejak tahun 2002 sampai sekarang. Dia pernah mengajar di SMP Negeri 18 Padang dan SMP Pesantren Modern Terpadu Prof Dr Hamka (2001-2003).
Junaidi menceritakan perjalanan hidupnya hingga didaulat menjadi salah satu finalis guru SMP berprestasi tingkat nasional tahun 2014.
“Beberapa hari sebelum peringatan HUT kemerdekaan RI, selain mengikuti lomba, semua guru berprestasi se-Indonesia juga diundang menghadiri upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI di Istana Negara. Mereka juga diundang menghadiri pidato kenegaraan Presiden di DPR,” jelas suami Yuliawati ini.
Banyak pengalaman yang  didapatnya dalam kegiatan tersebut. Selain diundang bersilaturahim dengan presiden dan ibu negara, mereka juga mendapatkan bermacam reward dalam bentuk uang dan barang yang akan dibawa pulang.
Junaidi menyelesaikan pendidikan master di IAIN Imam Bonjol Padang dengan konsentrasi Pendidikan Islam tahun 2005. Ia kembali menempuh jalur serupa untuk master keduanya di UNP Konsentrasi Quality Assurance & School Leadership 2007 dan menuntaskan gelar MPd tahun 2011.
Di tahun 2008 dia memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan di Ohio State University, Amerika Serikat dalam jalur sandwich program. Dia dua kali menempuh pendidikan S2. Junaidi juga beraktivitas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Qur’an Payakumbuh sejak 2011 sampai sekarang.
Pada 28 Mei lalu, berkat ketekunannya mengirimkan hasil karya tulis ke beberapa surat kabar di Sumbar, sebuah artikelnya berjudul “Sekolah Pelopor Kejujuran” membawa Junaidi berhasil meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai Juara III Lomba Artikel Pendidikan tahun 2015.
“Total 33 karya yang sudah diterbitkan. Minimal satu tulisan per bulan, tergantung kesibukan atau momentum yang dinilai menarik. Bila difokuskan, setidaknya satu tulisan dapat dihasilkan dalam seminggu,” katanya.
Ayah tiga anak ini menyayangkan selera guru untuk menulis artikel di media cetak masih sangat terbatas. ”Dari sekitar tiga juta guru Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang memperoleh kesempatan serupa. Karena itu pula, saya sangat bersyukur mendapatkannya. Apalagi, Mendikbud Anies Baswedan merupakan sosok tokoh idola yang dikagumi banyak orang di negeri ini,” ujar mantan Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah Sumbar.
Kondisi itu setidaknya tercermin dari peserta lomba tahun ini yang hanya berjumlah 256 orang. Itu pun sudah termasuk orangtua peserta didik.
“Jumlah sebanyak itu tentu amatlah sedikit bila dibandingkan sekitar tiga juta guru Indonesia,” tutur pria yang mendapatkan penghargaan tahun 2013 dari Menteri Agama RI sebagai guru pendidikan agama Islam berprestasi tingkat nasional.
“Andaikan guru-guru kita mau lebih bersungguh-sungguh menulis, maka tentu akan lebih banyak lagi ide, gagasan dan buah pikiran guru yang terpublikasi,” ucap juara pertama guru SMP berprestasi tingkat Provinsi Sumbar tahun 2014. 
Menurut teori psikologi, kata Junaidi, berprestasi merupakan salah satu kebutuhan manusia. Karena itu, budaya berprestasi harus menjadi bagian dari budaya hidup guru. Meraih prestasi gemilang merupakan salah satu cara guru mengukir sejarah.
“Menjadi guru berprestasi tingkat nasional merupakan salah satu pencapaian yang bisa dibanggakan guru dalam sejarah hidupnya. Karena itu, mari membuat sejarah yang bisa dikenang,” pungkasnya. (*)

Muhammad Furqani, Hafiz 30 Juz Al Quran Umur 15 Tahun

Dimuat di Padang Ekspres edisi 15 Juli 2015
”Al Quran Melapangkan Dada Saya”
“Ketek taraja raja gadang ta bao bao tuo tarubah tido.” Ungkapan inilah yang selalu disuntikkan orangtua Muhammad Furqani untuk memotivasi anaknya. Kini, Furqan sukses menjadi hafiz Al Quran 30 juz. Bagaimana ceritanya? 
Masih terngiang di ingatannya, bagaimana didikan orangtua ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Pria kelahiran Padang, 26 April 1989 ini, merupakan salah seorang dari 20 penghapal Al Quran yang “diwisuda” dengan hapalan lengkap 30 juz di Pondok Pesantren Darul Huffazh, Kotobaru, Dharmasraya, tahun lalu.
Tak hanya diwisuda, Furqan yang ditemui Padang Ekspres di kediamannya, Kompleks Polri Bunga Tanjung Indah, Blok D/6 RT 2 RW 8, Kelurahan Batipuhpanjang, Kecamatan Kototangah, Kota Padang, kemarin (14/7), juga menamatkan pendidikan formalnya di MTsN kotobaru.
Di bawah bimbingan ustad Efendi Lubis dan Buya Mukhlis, Furqan terlatih menghapal Al Quran satu halaman per hari. “Saya pindah sekolah ke sana, saat naik ke kelas 5 SD. Saat itulah saya mulai menghapal Al Quran, umur saya waktu itu 10 tahun,” kenangnya.
Ramadhan tahun ini menjadi berkah tersendiri baginya. Furqan ditunjuk sebagai imam tetap shalat Tarawih di Masjid Jabal Rahmah Kompleks Universitas Baiturrahmah, Kelurahan Aiapacah (Bypass), Kecamatan Kototangah, Padang.
Di masjid ini, praktik shalat Tarawih berjumlah 20 rakaat layaknya di Timur Tengah. Satu rakaat sang imam akan membaca setengah halaman Al Quran.
Artinya, satu malam shalat Tarawih Furqan membaca sebanyak setengah juz Al Quran. Total bacaan yang keluar dari hafalannya sampai akhir Ramadhan mencapai 15 juz.
“Alhamdulillah, pengurus masjid meminta saya mempraktikkan bagaimana shalat Tarawih seperti di Timur Tengah. Honornya juga luar biasa, sungguh ini mukjizat Ramadhan yang luar biasa bagi saya,” tuturnya malu-malu.
Satu malamnya, Furqan mendapat honor menjadi imam sebesar Rp 500 ribu. Jika digenapkan 30 malam Ramadhan, tentunya satu bulan itu Furqan berpenghasilan Rp 15 juta.
Kendati masih dalam tahap menyelesaikan tesis pada program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Furqan memantapkan hatinya meminang seorang perempuan cantik, Hafizah.
Tepat pada 7 November 2014 lalu, Furqan mempersunting sang pujaan hatinya yang juga satu angkatan dengannya di MAKN Kotobaru Padangpanjang. Kini, bermodalkan hapalan Al Quran, Furqan bersama istrinya mengarungi bahtera rumah tangga dengan merintis bisnis tour dan travel.
Anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Darmis Darwis dan Wirnawati ini juga menceritakan, bagaimana ustad yang mengasuhnya di pondok tahfiz untuk memotivasinya.
“Dulu ustad tidak memiliki apa-apa. Berkat Al Quran lah kehidupan ustad sampai seperti saat ini. Dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, semuanya merupakan berkah dari bergaul dengan Al Quran,” ujar Furqan menirukan kalimat ustadnya.
Tidak mendapati hambatan saat menghapal Al Quran, tentunya mustahil. Furqan juga manusia biasa. Saat usianya remaja, Furqan sering diperdaya oleh kegemarannya bermain game Play Station. 
Mujur, Furqan tak sampai larut dibawa kegemarannya itu. Sang ustad lah tidak henti-hentinya memberi semangat kepadanya. Motivasi lainnya, lanjut Furqan, dia ingin memberikan mahkota dari emas kepada kedua orangtua di surga kelak.
“Kan ada hadits soal keutamaan menjadi penghafal Al Quran. Nabi Muhammad SAW menjanjikan mahkota dari emas di surga bagi orangtua para penghafal Quran,” terangnya.
Setelah mengkhatamkan 30 juz Al Quran, Furqan merasakan hidupnya benar-benar lapang dan banyak kemudahan diperolehnya dari jalan tak terduga.
“Secara bathin, Al Quran melapangkan dada saya. Secara duniawi, Al Quran juga memberi saya segalanya. Sudah mengikuti ajang MTQ ke berbagai daerah, misalnya. Sering menjadi imam di masjid berbeda-beda tiap tahunnya. Intinya, tidak bisa saya sebutkan satu per satu,” ujarnya.
Furqan sendiri sudah tiga kali mewakili Sumbar mengikuti perlombaan MTQ cabang hafalan Quran tingkat nasional. Mulai MTQ di Mataram, Nusa Tenggara Barat tahun 2002, kemudian Jakarta tahun 2005, dan Kendari, Sulawesi Tengah tahun 2006.
Semasa kuliah di Universitas Al Azhar, Furqan mengukir prestasi dalam kompetisi internasional Al Quran di Kairo, Mesir. Bersaing dengan delapan negara peserta lainnya, Furqan berhasil meraih ranking empat pada cabang 20 juz.
Orangtuanya juga sering memberi reward uang saku, bila Furqan berhasil meraih prestasi atau menghapal satu surat Al Quran tertentu. Selain itu, satu hari satu halaman merupakan target pondok tahfiz yang harus diselesaikannya.
Furqan memiliki teknik khusus dalam menghafal Al Quran. Dia membagi halaman Al Quran menjadi seperempat. Seperempat pertama dihapal baru masuk, dan berlanjut sampai satu halaman. Kemudian, dia mengulangnya secara bersamaan.
Setoran hafalan sendiri dilakukan setiap hari kepada usta Efendi Lubis atau Buya Mukhlis. “Pondok Al Quran itu dihuni berbeda usia. Ada masih SD, tsanawiyah dan ada pula aliyah. Semuanya saling menyemangati dan berpacu dalam menghafal,” katanya. (*)

Hafiz 10 Juz, Auva Nur Hadi

Dimuat di padang Ekspres edisi 12 Juli 2015

Persiapkan Mahkota Emas Buat Orangtua
Putra kebanggaan Suhardi Amir dan Nur Asma yang dilahirkan 26 November 1998 itu terus hanyut dengan hafalan Quran-nya. Dijumpai Padang Ekspres di mushola Surau Jambak, jalan Gajah Mada, Gunungpangilun Padang, Auva tampak berkomat kamit sendiri.
Usai shalat Zuhur kala itu, Kamis (2/7), sekitar pukul 12.30. Auva Nur hadi yang akrab disapa Auva terlihat menggeser posisi duduknya ke dinding mushola. Lalu mengambil Al Quran, lantas membacanya. Menariknya, Auva hanya sesekali memandangi Alquran itu. Selebihnya, dia membaca tanpa melihat teks.
Auva pernah menjadi juara I pada MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Kota Padang tahun 2014 lalu, saat itu Auva tampil sebagai muazin dalam cabang lomba khutbah Jumat. Setahun sebelumnya, pada ajang perlombaan yang sama di Pasaman Barat, Auva mampu finis di posisi ke dua.
Anak pertama dari empat bersaudara ini sempat mengenyam pendidikan kelas satu di MTsN Padangpanjang, Aufa kemudian pindah sekolah ke MTsN Koto Baru Darmashraya. Di sanalah dia mulai menghafal Al Quran. Auva tinggal di salah satu pondok tahfiz di kabupaten termuda di Sumbar itu.
Kini Auva sedang mempersiapkan hafalan Quran 10 Juz untuk mengikuti MTQ Nasional tingkat Sumbar di Kota Sawahlunto, yang dihelat November mendatang. Sepanjang Ramadhan 2015 ini, tidak banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain, berbeda dengan siswa SLTA lainnya.
Usai subuh hingga jam 8 pagi dirinya harus menghafal Al Quran di Pondok pesantren Darul Huffazh, tempatnya menginap. Dari Jam 08.00 Auva mengikuti pesantren Ramadhan. Kemudian jam 11.00 sampai sholat Zuhur Auva menghafal Al Quran lagi. Jam istirahatnya hanyalah sehabis Zuhur sampai Ashar.
Kendati demikian, waktu tersebut juga dipakainya untuk mengulangi hafalannya. ”Kadang kalau jenuh main bola bersama teman, itu khusus untuk sore hari Jumat saja, hari lainnya tidak ada izin. Ustadz mewajibkan menghafal Quran usai shalat Ashar sampai 17.30,” jelasnya.
Bercerita tentang hafalan Quran yang dimilikinya, Auva tampak malu-malu. ”Saat ini baru sampai surat al-A’raf, 3 lembar lagi baru masuk juz ke sembilan,” katanya sambil menunjukkan Al Quran yang tadi dibacanya.
Auva menuturkan, menghafal Al Quran bukan berarti mudah. Seringkali dia menemukan godaan dan rintangan.
”Lidah sering patah-patah kalau bertemu dengan kosakata baru. Hal inilah yang sangat menyita pikiran dan waktu. Disamping itu, membagi waktu untuk mengulanginya juga sangat susah,” tutur siswa ber behel itu.
Ditanya mengenai motivasinya menghafal Al Quran, Auva tertegun sejenak dan tampak memikirkan kosa katanya.
”Saya termotivasi oleh teman-teman di sini. Bahkan ada yang bisa menghafal satu juz dalam dua hari. Kabarnya dia menghafal saat tengah malam, saya coba tapi malah ketiduran memegang Al Quran,” tutur Auva.
Motifasi lainnya, lanjut Auva, dia ingin memberikan mahkota dari emas kepada ke dua orang tua di syurga kelak. ”Kan ada hadits tentang keutamaan menjadi penghafal Al Quran. Nabi Muhammad SAW menjanjikan mahkota dari emas di surga bagi orangtua para penghafal Quran,” terangnya.
Selain itu, Auva mengaku belum pernah naik pesawat terbang. Hal ini juga menjadi pemicu semangat yang tertanam kuat di dalam dirinya.
”Saya ingin setelah tamat SMA nanti bisa kuliah di Madinah, Arab Saudi. Selama ini saya belum pernah naik pesawat. Kata ayah, kalau ingin naik pesawat perbanyak hafalan, nanti dengan sendirinya akan sering keluar daerah mewakili Sumbar lomba hafalan Quran,” ucap Auva malu-malu mengenang kalimat ayahnya.
Sebagai sesama remaja dan sesama siswa SLTA, Auva tentunya sering digoda temannya untuk ngumpul bareng, namun Auva lebih prioritaskan menghafal Quran.
”Kadang kawan sering mengajak jalan keluar untuk ngumpul bareng, susah untuk menolaknya. Sesekali kalau jam pelajaran kosong atau pulang lebih cepat, baru saya mau. Itupun hanya untuk main futsal atau main PS sekitar satu jam saja. Lebih dari itu, saya tetap utamakan hafalan,” katanya. (*)

Elyanti Fajri, Dokter yang Membina Keluarga Penghafal Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 22 May 2015
http://www.koran.padek.co/read/detail/27091

Bentuk Kepribadian, Ajak Anak Tadarus 
Rumah yang tidak dibacakan Al Quran bagaikan kuburan. Saat kebanyakan keluarga lebih mementingkan pendidikan formal, tidak demikian dengan keluarga satu ini. Bagi pasangan Elyanti Fajri dan Budiman, pendidikan berbasis Al Quran menjadi jalur utama membentuk kepribadian anak. Bagaimana ceritanya?
Menikah di usia muda tidak selalu menjadi faktor kegagalan dalam berumah tangga. Buktinya, pasangan Elyanti Fajri dan Budiman menikah saat keduanya masih berusia 24 tahun dan belum memiliki penghasilan tetap.
Kala itu, Budiman masih menyelesaikan skripsi sarjana (S-1) di IAIN Imam Bonjol Padang, sedangkan istrinya Elyanti Fajri menjalani praktik koas di Fakultas Kedokteran Unand.
Dalam 21 tahun pernikahan, pasangan ini telah dikaruniai 7 orang anak, yakni Muhammad Sahuddin Al Fatih (Fatih), M Ansharudin Al Furqony (Furqon), M Ramadhan Al Fikri (Fikri), M Syahid Al Falah (Falah), M Fadhli Al Multazim (Fadhli), Nida Ul Faizah (Faizah) dan M Arsyad Al Fahmi( Fahmi).
Anak-anak itu menjadi penyejuk kehidupan rumah tangga mereka. Elyanti Fajri yang akrab disapa dokter El, berdomisili di Kompleks Perumahan Puri Lestari H2 RT02/RW06 Kelurahan Paraklaweh Nan XX, Kecamatan Lubukbegalung, Padang.
Sebagai dokter sekaligus istri dari seorang anggota legislatif, membesarkan dan mendidik tujuh buah hati tentu menuntut perhatian dan konsentrasi luar biasa.
Selain tujuh anak kandung, keluarga ini juga mengangkat Amirul Ma’ruf sebagai anak mereka. Amirul merupakan rekan sebaya Fatih di pesantren yang hidup dalam keadaan yatim piatu.
Ketika masih balita, dia telah ditinggal wafat sang ibu. Masuk sekolah tingkat tsanawiyah, ayahnya juga menghembuskan nafas terakhir. Kini Amirul yang hafal Al Quran berkisar 20 juz menjadi anggota kesepuluh keluarga Elyanti dan Budiman.
Prioritaskan Al Quran
Dijumpai Padang Ekspres di ruangan praktiknya, Selasa (5/5) lalu, Elyanti membeberkan rahasianya menciptakan keluarga penghafal Al Quran.
“Salah satu tipsnya, orangtua, baik itu sang ayah maupun si ibu harus kompak memprioritaskan Al Quran dalam pendidikan anak-anak. Apabila berkumpul, biasakan tadarus bareng. Jadikan Al Quran sebagai pengantar tidur si anak,” ujarnya.
Elyanti mengatakan pentingnya menghiasi rumah dengan bacaan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari.
“Al Quran adalah cahaya. Rumah yang tidak dibacakan Al Quran bagaikan kuburan. Sehingga apabila rumah sudah menjadi Baity Jannaty, maka tugas orangtua akan menjadi lebih ringan. Membentuk kepribadian anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Dalam setiap kesempatan, tambahnya, orangtua dianjurkan senantiasa memotivasi anak dalam menghafal Al Quran.
Apabila sang ayah yang bertugas di Komisi I DPRD Padang menjalani kunjungan kerja keluar daerah dan ditemani dokter El, mereka tidak lupa mengingatkan anak untuk tetap mengulangi hafalan Quran.
“Kalau berada jauh dari anak, komunikasi seluler bisa menjadi penghubung. Tanyakan hafalan dan minta si anak menyetorkan hafalan mereka melalui HP. Yang penting jangan sampai lupa memberi contoh yang baik,” katanya.
Apabila sang anak mulai malas dan jenuh, sang dokter kembali memberikan siraman rohani kepada mereka.
"Kalau mereka malas, saya menyemangati mereka dengan mengatakan kita akan menuju akhirat. Al Quran adalah sahabat paling setia menemani dan menjadi pembela kita kelak di hadapan Allah SWT,” tutur El. Dokter  El juga memberikan variasi tegas dan lunak dalam mendidik anak.
“Silahkan jadi apa saja. Kalau jadi presiden jadilah presiden yang hafal Quran, kalau jadi menteri jadilah menteri yang hafal Quran. Kalau disuruh shalat atau mengaji, namun masih menonton TV, secara tegas TV akan dimatikan langsung,” ujarnya.
Anak yang memiliki hafalan Al Quran menurut Elyanti juga menjadi contoh bagi teman bergaul anak.
“Anak yang bertengkar satu sama lain sudah menjadi lumrah di usia mereka. Namun dengan modal Al Quran, emosi mereka akan cepat reda. Godaan lingkungan tentu juga tidak dapat dinafikan, tapi anak yang hafal Al Quran akan lebih menjaga diri dan menjadi panutan teman sebaya lainnya,” tuturnya.
Pada bulan Ramadhan, bila anak mereka mencapai target diberikan reward kusus. Di ajak jalan-jalan atau sekurang-kurangnya diizinkan waktu lebih untuk istirahat main game dan nonton tv. Pada hari libur, setiap anggota keluarga wajib menjalani program 30 menit membaca Al Quran.
“Bahkan ketika  homestay di Sawahlunto, di penginapan kami tetap berlomba membaca Al Quran,” katanya. Menurut El, anak pertama harus dijadikan figur bagi adik-adiknya. Ketika salah mendidik anak pertama, maka akan susah untuk membentuk karakter anak setelahnya.
“Pernah suatu ketika Fadhli (anak kelima) ditanyai guru yang melakukan seleksi masuk Ar-Risalah tentang motivasi memilih pesantren. Dengan lugas Fadhli menjawab, Fadhli ingin seperti bang Fatih yang hafal Al Quran,” terang dokter El menirukan ucapan anaknya. (*)

Rusydi Haris: Dua Hari, Hafal 1 Juz Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 9 Agustus 2015

Haris, sapaan akrab remaja kelahiran Solok, 28 Juni 2000 ini. Buah hati pasangan Rusliadi dan Azrita Rahmadani ini pantas diacungkan jempol. Bagaimana tidak, diusianya yang baru beranjak 15 tahun, Haris telah menghafal 16 juz Al Quran. Dalam dua hari, ditargetkan mampu menghafal satu juz Firman Tuhan.
Di Pondok Pesantren Darul Huffazh di Jalan Gajah Mada No 24 Gunungpangilun Padang inilah Haris mendulang hafalan Al Quran di bawah bimbingan ustaz Abdurrahman. Saat ini Haris duduk di bangku kelas tiga, setingkat SMP.
“Kebetulan paman saya kenal dengan salah satu ustaz yang mengajar di sini. Saya ditawarkan untuk menghafal Al Qran dan diajak ke Padang. Mendengar hal itu saya senang. Orang tua pun juga mendukung. Akhirnya saya menerima tawaran paman,” ujar anak kedua dari sembilan bersaudara itu saat ditemui Padang Ekspres, di Ponpes Darul Huffazh, awal Agustus lalu.
Haris mulai menghafal Alquran sejak masuk pondok pesantren, kelas VII di sekolah umum atau kelas satu SLTP. Hebatnya, naik ke kelas III hapalannya sudah 16 juz.
Hapal 30 juz Alquran sebelum UN kelas 3 adalah target utama yang diidam-idamkannya. Untuk itu Haris telah membulatkan tekad, memaksimalkan kemampuan menghapal 10 halaman atau setengah juz dalam sehari semalam.
Kiat utama Haris dalam menghafal Al Quran adalah dengan menggunakan Al Quran yang memiliki terjemahan per kata. Dengan demikian, menurutnya, kosa kata Al Quran yang sulit diucapkan dapat dipahami terlebih dulu.
“Kalau suatu lafaz sulit diucapkan, saya cari tahu artinya terlebih dulu. Kemudian saya mencari waktu yang paling mudah untuk menghafal. Waktu jelang Subuh favorit saya, karena saat itu otak masih fresh,” kata alumni SDN 04 Pantai Cermin, Kabupaten Solok ini.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kejenuhan, tambah Haris, juga harus segera diatasi. Kalau pikiran tidak fokus menghafal Al Quran tidak boleh dipaksakan.
“Satu kesempatan menghafal Al Quran, jangan dipergunakan terlalu lama. Saya akan jenuh dan bosan. Saya juga mewanti-wanti agar tidak disibukkan oleh handphone,” jelasnya.
Haris juga sabar dalam perantauannya menuntut ilmu dan mengejar target hafalan. Berpisah dengan orang tua dan adik-adiknya tidak membuatnya berkecil hati. Pulang kampung hanya sekali 5 bulan, atau ada hal mendesak saja. “Namonyo menuntut ilmu tu yo baitu,” tuturnya dalam logat Solok.
Menghilangkan efek jenuh, sekali dalam seminggu, Haris biasanya menghabiskan waktu dua jam untuk bermain bola dengan rekan-rekannya sesama penghafal Al Quran.
Kalau sudah jenuh, sekali seminggu dia ikut bergabung dengan teman-teman bermain bola. Atau jika ada izin dari ustaz, biasanya pergi nonton bola. Menurutnya, menggunakan waktu sebaik-baiknya adalah suatu keharusan setiap remaja seusianya.
“Remaja identik dengan kenakalan, karenanya harus perbanyak ibadah. Suko ka lawan jenis tentu ado, mengutarakannya saya ndak bisa, saya malu. Jadi lebih baik menghafal Al Quran saja,” ujarnya sambil tertawa.
Menghadiahkan orang tua sebuah mahkota dari emas di syurga dan memberikan syafaat kepada 10 famili adalah landasan utama niatnya menjadi seorang penghafal Al Quran.
“Jalan di jalur awak se, kalau jalurmu menghapal Quran ya hafal lah Quran. Kalau melenceng dari jalur ibarat maksud tak kesampaian,” ucap Haris menirukan pesan ke dua orangtuanya.
Kini berbagai prestasi telah ditorehkannya. Diantaranya, juara II pada MTQ cabang Hifzil 5 juz plus Tilawah di Kabupaten Solok tahun 2014. Pada ajang yang sama di tahun sama, Haris juga berhasil meraih juara II ketika dihelat di Kota Padang.
Selain itu, dia juga pernah mengikuti perlombaan di cabang hafiz 10 juz dalam MTQ antarpelajar se-Sumbar yang dilaksanakan Ponpes Ar Risalah. Haris mampu finish di peringkat ke-III. Dalam waktu dekat Haris akan mewakili Sumbar dalam ajang STQ Nasional di Jakarta, 4 Agustus. (*)

Aktivitas Tiga Mahasiswa Yaman Pasca-Evakuasi

Dimuat di Padang Ekspres edisi 21 April 2015

Bantu Orangtua ke Ladang, Isi Tausiyah di TV
Tiga sekawan mahasiswa Yaman asal Padang; Asyam Hafiz, Ilham Taufiq dan Muhammad Alwi, termasuk beruntung bisa dievakuasi dari negara konflik Yaman. Apa kegiatan ketiga mahasiswa ini setiba di kampung halaman?
Begitu tiba di rumah, Alwi kaget menyaksikan tumpah ruah tetangga menyambutnya. Alwi dipeluk haru. “Ndak lamak lalok, makan payah, dek takana nasib anak di kampuang urang,” sambut tetangganya di Kelurahan Gunungsarik, Kecamatan Kuranji, Padang.
Kini, tiga hari sudah Muhammad Alwi berada di sekeliling keluarganya. Anak kesayangan Asnimar dan Oyon Jambak itu, tampak galau menyaksikan kondisi Yaman yang makin memburuk.
Kerisauan Alwi makin bertambah, karena harus memikirkan kuliahnya. “Mungkin Alwi ikut tes ke Al Azhar saja. Itu pun kalau ada dana,” ucap Alwi kepada Padang Ekspres di rumahnya, kemarin.
Kini, keseharian Alwi membantu orangtua di ladang. “Bantu ibu panen kacang panjang selama dua jam di pagi hari, hasilnya bisa langsung dijual. Lumayan daripada tidak berbuat apa-apa,” ujar Alwi.
Oyon Jambak, sang ayah, tak henti berucap syukur mengenai kepulangan anaknya. “Kini perasaan awak lah lega, berkat pertolongan berbagai pihak termasuk pemerintah, anak saya sudah selamat kembali pulang,” katanya.
“Kalau mendapat bantuan dari pemerintah, saya akan kuliahkan lagi Alwi ke Mesir. Tapi kalau ndak, dikuliahkan saja di Padang. Saya pasrah kepada Yang Maha Esa. Anak saya ke sana bukan untuk berbesar hati, tapi mencari Ilmu yang berguna bagi bangsa dan agama,” tuturnya.
Lain Alwi, lain pula Ilham Taufiq, yang tinggal di RT 04/RW 05 Kelurahan Parakkarakah, Kecamatan Padang Timur. Ilham berencana mencari guru besar dan belajar secara langsung menimba ilmu dari beliau.
“Saya dengar ada ulama yang mantap ilmunya di Gunungpangilun, Padang. Tapi kalau kurang cukup, mungkin akan dicari ke Aceh,” katanya.
Selama di Yaman, Ilham “ngidam berat” dengan sambalado khas Padang. “Saya sering teringat sambalado, terutama buatan mama. Tiap hari dentuman bom begitu dahsyat, tidak bisa dibayangkan bagaimana kecemasan mama memikirkan saya,” ucapnya.
Di balik itu semua, Ilham terus berpikir positif. “Hikmahnya, mungkin saya dituntut untuk belajar dulu di sini supaya lebih mantap,” ujarnya.
Meski berkuliah di Yaman, tidak membuat Ilham lupa kacang dengan kulit. Senin (20/4), Ilham berkunjung ke sekolahnya. Ilham merindukan majelis guru yang sudah mengajarnya beragam pengetahuan di MAN 2 Gunungpangilun, Padang. 
“Saya ke sekolah sekadar bersalaman dengan guru, bercerita tentang tragedi Yaman dan tanya jawab mengenai rencana ke depan. Saya teringat jasa-jasa guru saya dulu sebelum saya berangkat ke Yaman,” katanya.
Sebelum kepulangannya ke tanah air, Ilham mendapat pesan dari guru yang mengajar di asrama Yaman, agar menyebarkan ilmu yang diperoleh ke tengah masyarakat. “Walaupun tidak seberapa ilmu yang diperoleh, jangan malu untuk berdakwah. Itu pesan guru saya di sana,” jelasnya.
Meski bulan puasa masih sekitar 3 bulan lagi, Ilham sudah mendapat jadwal mengisi ceramah Ramadhan. Salah satunya di Masjid Baitul Hadi, Kompleks Aurduri Indah.
“Awal pembukaan Ramadhan sudah ada jadwal, yang lain juga ada, tapi lihat nanti saja bagaimana kejelasannya,” tutur Ilham. Ilham berharap janji Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengenai pemberian beasiswa untuk melanjutkan kuliah bisa terealisasi.
“Mudah-mudahan janji pak Gubernur untuk membiayai kuliah selanjutnya, benar-benar terwujud,” harapnya.
Asyam Kebanjiran Rutinitas Dakwah
Setali tiga uang dengan Asyam Hafiz. Pemuda Lubukbuaya, Padang, ini  mengaku sudah kebanjiran aktivitas dakwah. Bahkan, sang ayah yang juga mantan wakil ketua DPRD Sumbar Trinda Farhan Satria, berjanji merekomendasikan jadwal ceramah di masjid sekitar dan di luar Kota Padang.
Tidak hanya itu, mahasiswa yang biasa disapa Hafiz itu, ditawari menjadi pengisi acara tausiyah di salah satu stasiun televisi di Padang.
“Bulan Ramadhan nanti saya sangat ingin berdakwah di Pasaman Timur, kebetulan ada ajakan dari salah seorang teman. Tapi, untuk mengisi waktu luang sebelum memasuki bulan Ramadhan, rencananya belajar di Mahad Zubair Bin Awan dulu, sambilan juga mengisi acara tausiyah di TV,” katanya.
“Kalau tidak ada kesibukan, rencananya main futsal bersama alumni MAPK Kotobaru. Yang penting, jangan sampai diam-diam di rumah, bisa kepikiran menikah,” canda Hafiz.
Kecewa sempat menyelimuti perasaan Hafiz dkk. Dentuman bom terasa begitu keras sesaat sebelum pulang berangkat ke pelabuhan.
“Saking kerasnya, sebagian kaca asrama pun pecah, kami kembali berlari ke dalam asrama. Akhirnya, juru masak asrama berseru “qum qum” (berdiri, red) cepat bersiap bus sudah sampai menjemput kalian,” ucap Hafiz berapi-api menceritakan kisahnya.
Hafiz juga mengisahkan bagaimana kawan-kawannya yang berfoto dimarahi nakhoda. “Al Yaum Laisa Al Waktu Li Taswir (sekarang bukan waktunya untuk foto-foto, red),” ucap Hafiz dengan logat bahasa Arabnya. 
Hafiz sendiri tidak berminat kuliah ke Mesir. “Di Mesir karena tidak terlalu dikekang, tidak ada absen. Sedangkan di Yaman 3 x libur tidak bisa ujian akhir,” jelas Hafiz. Pesan dari guru besar yang paling di ingatnya, yaitu ucapan Syaikh Ridwan Ad Dassany. 
“Kalian mestilah berbahagia atas peristiwa ini, karena kalian menyaksikan peristiwa ini dengan mata kalian. Tidak semua manusia bisa mendapati nikmat yang luar biasa ini, dan kisah ini bisa menjadi cerita indah, serta berbahagia bagi anak cucu dan keluarga kalian kelak. Jangan lupa bahwasanya Rasulullah bersabda dalam hadisnya, ‘siapa yang menempuh jalan ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan menuju syurga’ kalian adalah para mujahid di jalan Allah,” kenang Hafiz dalam bahasa Arab. (*)

Cara Unik Penghafal Al Quran Menghilangkan Kejenuhan

Jungkir Balik hingga Benturkan Kepala 

Dimuat di Padang Ekspres edisi 1 May 2015
Berawal dari rasa keprihatinan minimnya wadah penghafal Al Quran di Kota Padang, Iwan Ahmad tergelitik mendirikan Yayasan Daurah Menghafal Al Quran. Warga Cengkeh, Lubukbegalung, Kota Padang ini ingin membumikan para penghafal Al Quran.
Dia juga bertekad mengubah paradigma bahwa menjadi penghafal Quran tak sulit. Hanya butuh waktu 40 hari, maka 30 juz hafalan Quran bukan hal yang mustahil bisa dihafal.
Iwan Ahmad bercerita, awal mendirikan yayasan tersebut tanpa modal dan hanya kebulatan tekad semata. Ia bersyukur banyak kemudahan yang dia dapatkan untuk mendirikan yayasan.
Keinginannya membuka yayasan menghafal Al Quran berawal dari rasa keprihatinan terhadap banyaknya bibit- bibit penghafal Al Quran, namun belum wadah untuk menampungnya. 
Alumni Daurah Menghafal Al Quran ini  terinspirasi dari kesuksesan 20 hafiz dan hafizah Daurah Makassar yang mengikuti program hafal Al Quran. Dari jumlah itu, 12 orang berhasil menghafal Al Quran 30 juz, selebihnya ada yang 25 juz dan ada yang 20 juz terkendala karena sakit.
“Bulan Ramadhan merupakan momen yang pas untuk menghapal Al Quran. Berlomba lomba beramal dan membaca Al Quran bertepatan dengan bulan diturunkannya Al Quran. Setelah melihat hasil yang didapat oleh teman-teman saya di Makassar, saya berkeinginan mempraktikkannya di Padang, kampung halaman saya sendiri,” tutur Iwan.
Menjadi penghafal Al Quran banyak keuntungannya. Selain dapat memberikan mahkota terindah buat orangtua dari emas saat di alam barzah, penghafal  Al Quran juga akan dipanggil Rasulullah untuk masuk ke surga Firdaus.  
Itulah yang memotivasi saya untuk dapat memperbanyak para penghafal Al Quran,” ucapnya.
Iwan bercerita, saat dia menghafalkan Al Quran 30 juz dalam 40 hari, pernah menderita demam dan suaranya pun sempat tak ke luar. Namun, rasa sakit  yang dialami tak menyurutkan semangatnya untuk terus menghafalkan Al Quran. Hari ke -18, Iwan sudah dapat menghafal 30 juz Al Quran. 
“Saya hanya tinggal mengulang-ulang kembali hafalan saya. Dibanding dengan menghafal atau menambah hafalan baru, memang menghafal yang paling sulit,” ucapnya.
Bapak dua anak ini bercerita, selama menghafal Al Quran dia pernah mengalami kejenuhan. Untuk menghilangkan kejenuhannya, dia punya cara unik yakni membentur-benturkan kepala ke dinding dan jungkir balik di atas kasur.
“Membentur-benturkan kepala ke dinding tentu bukan berarti untuk menyakitkan diri, tapi hanya menghilangkan kesuntukan semata,” ucapnya.
Selama dia menekuni bidang hafalan Al Quran, selalu mendapatkan kemudahan dalam berbagai urusan. Termasuk saat mengurus perizinan untuk mendirikan yayasan.
“Saat saya mengurus izin yayasan tak ada kendala, baik itu di notaris maupun mendapatkan SK pendirian dari Kemenkumham. Mugkin karena niat saya baik, Allah selalu berikan kemudahan. Saya banyak dibantu orang-orang yang peduli dengan bacaan Al Quran,” ucapnya.  
Untuk terus mengingat bacaan Al Quran, dia kerap mempraktikkannya dalam kegiatan shalat sunat dan shalat wajib. “Untuk memperlancar bacaan shalat tersebut, saya terus mengingat hafalannya pada saat shalat wajib dan tahajud,” ucapnya. (*)

Nur Khairat Arniman: Talenta Minang Bersuara Emas

Nur Khairat Arniman: Talenta Minang Bersuara Emas

Padang Ekspres Edisi 05 April 2015
Khairat yang memiliki nama lengkap Nur Khairat Arniman, satu lagi pemilik suara emas asal Sumatera Barat. Gadis cantik kelahiran 24 September 1989 itu akan mewakili masyarakat Minangkabau dalam Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang ditayangkan salah satu TV swasta nasional.
Khairat bercita-cita mengharumkan nama Sumbar dalam kancah musik dangdut di tanah air. Setelah lolos tahap seleksi 40 besar beberapa waktu lalu, Khairat akan kembali bertolak ke Jakarta Senin (6/4) untuk tahapan selanjutnya menuju 20 besar.
Rabu 8 April mendatang, Khairat akan bersaing dengan kontestan lainnya dalam ajang KDI yang akan digelar secara live mulai pukul 20.00 WIB. Untuk bisa lolos ke 20 besar Khairat mengharapkan dukungan seluruh masyarakat dan perantau Minang yang ada di seluruh  Indonesia.
Dijumpai Padang Ekspres Jumat (3/4), disela-sela kesibukannya usai membawakan sebuah program TV Khairat menyampaikan permintaan dukungan. “Dunsanak, tolong SMS yang banyak ya.Ketik  KDI spasi Khairat kirim ke 95151,” ucap Khairat dengan mata berkaca-kaca.
Perjalanan karir Khairat di dunia musik tergolong unik. Sebelumnya, di sebuah orkes gambus berlabel Nur Khairat, dirinya berposisi sebagai pemain keyboard sedangkan yang menjadi vokalis adalah sang ummy (panggilan Khairat untuk ibunda, red). Waktu itu Khairat masih menduduki bangku MTs.
Buah hati dari Luqman dan Arni itu juga tidak pernah sekalipun mengenyam pendidikan vokal atau les menyanyi secara formal. ”Kalau belajar mengaji itu dari Uya (panggilan Khairat untuk ayahanda, red) kalau belajar nyanyi itu dari Ummy. Tidak ada les formal,” kata gadis cantik yang juga mahir memainkan biola itu.
Khairat juga menceritakan pengalamannya menyanyi di depan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono. 
“Waktu itu Khairat menjadi Duta Anak Nasional utusan Sumbar untuk menghadiri sebuah acara di Jakarta, dalam acara itu Khairat di suruh nyanyi di depan presiden. Membawakan lagu berjudul Habibi, Khairat senang sekali karena itu kesempatan langka,” ujar dara yang tergila-gila makan Asam Padeh itu.
Kakak dari Muhammad Sahibul Amin itu mengaku santai soal penampilan. Sebagai persiapan, Khairat lebih fokus mengenal perbedaan cengkok antara musik dangdut dan melayu. 
“Selain menjaga kesehatan, Khairat masih belajar cengkok dan menambah perbendaharaan lagu dangdut, maklum background kan berasal dari musik gambus,” ungkapnya dengan suara tiruan kartun Upin-Ipin.
Soal prestasi, pengalaman anak pertama dari dua bersaduara itu tidak diragukan lagi. Di dunia bintang qasidah, Khairat sudah seringkali menyabet gelar juara, tahun 2011 tim nasyid yang diusungnya berhasil meraih Juara 1 mewakili Sumbar pada ajang Lomba Nasyid Nasional.
Terakhir, Januari lalu Khairat terpilih menjadi Finalis Putri Muslimah Sumbar. Dalam waktu dekat dirinya akan bersaing dengan finalis provinsi lain untuk meraih titel Putri Muslimah Indonesia di Jakarta. (*)

Nisrina Irbah Sati, Terbaik I UN IPS Sumbar

Dimuat di Padang Ekspres edisi  18 May 2015

Susah Tidur, Si Jago Debat Diterima di Fakultas Hukum UI
Sleeping dissorder (susah tidur malam, red), ternyata ada manfaatnya bagi siswa kelas XII IPS 1 SMAN 1 Bukittinggi. Ya, berkat “kelainan” ini Nisrina Irbah Sati berhasil meraih nilai UN IPS 2015 terbaik 1 se-Sumbar. Bagaimana kisahnya?
Ina—sapaan akrab Nisrina Irbah Sati—putri kebanggaan Afdal Sati dan Noviarni ini masih tidak percaya terhadap apa yang barusan diraihnya. Biarpun begitu, mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak, tak lantas membuatnya melambung ke awan.
“Jam 8.00 pagi Jumat, di-SMS (pesan pendek, red) guru untuk datang ke sekolah, dikasih tahu tentang prestasi itu awalnya gak percaya. Tapi seiring banyaknya ucapan selamat dari teman-teman via BlackBerry Messenger ditambah info resmi dari lembaga bimbel, baru percaya dan alhamdulillah,” tuturnya lembut.
Bicara cepat sudah mendarah daging bagi dara cantik kelahiran  Samarinda 10 Oktober 1997 ini. Hal itu tampak jelas ketika Padang Ekspres mewawancarainya kemarin (17/5).
Tanpa ragu, setiap lontaran pertanyaan direspons dengan sigap olehnya. Wajar saja, debat merupakan merupakan keahliannya dalam berbagai iven luar sekolah. Tingkat Kota Bukittinggi, Ina pernah meraih juara 1 lomba debat pendidikan antikorupsi dan juara 3 debat Bahasa Inggris tahun 2013.
Di tahun sama, olimpiade bahasa Jerman diadakan oleh Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia (IGBJI) Sumbar, kala itu Ina berhasil meraih peringkat ketiga. Tahun 2014, Ina berhasil meraih juara 2 lomba debat konstitusi dalam iven Pekan Konstitusi Unand tingkat regional (Sumbar, Riau, Jambi).
Selain itu, Ina dkk juga berhasil menjadi finalis debat Bahasa Indonesia tingkat nasional yang diadakan oleh Kemendikbud di Palembang. Mengenai UN, Ina membeberkan tips dan triknya secara gamblang.
“Ina kan sejak SMA menderita sleeping dissorder, tiap malam itu gak bisa tidur cepat. Biasanya, sampai pukul 03.00 malam masih membaca buku. Kalau ada yang ragu tentang akuntansi selalu tanya ke ayah,” ujarnya.
Selain belajar malam, lanjut Ina, menjelang hari “H” UN, Ina memperbanyak bahasan paket soal. “Kan di sekolah itu belajar sore dari pukul 15.00 sampai pukul 17.30 ditambah lagi dengan jadwal bimbel (bimbingan belajar). Materi yang diperoleh, malamnya langsung dipraktikkan dengan membahas soal-soal,” jelasnya.
Peran orangtua, menurutnya, sangat berperan dalam menciptakan suasana belajar.
“Support dari ayah dan mama sangat besar. Ayah sebagai seorang akuntan selalu menjadi ladang bertanya mengenai hukum dan undang-undang. Sementara, mama mengayomi kami dengan sangat baik sehingga terciptalah suasana kondusif untuk belajar,” ucap anak pertama dari tiga bersaudara itu.
Sebagai penambah semangat Ina, meski tergolong sibuk, orangtuanya tidak lupa memberikan bonus atas limpahan prestasinya. “Reward dari ayah dan mama setiap mendapat prestasi pasti diajak makan atau ditambahin uang jajan, ya maklum saja ayah kan super sibuk,” tuturnya.
Selain jago debat, Ina yang berdomisili di Jalan Manunggal No 8 RT 3/RW 2 Kelurahan Pulai Anakair, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan Bukittinggi itu, juga bercita-cita menjadi seorang hakim.
“Soal ilmu hukum, Ina masih mikir mau fokus ke mana. Minatnya sih mendalami hukum internasional supaya banyak kenal dengan orang dari berbagai negara. Kalau untuk kondisi pasar saat ini sepertinya hukum perdata juga menarik, tapi Ina juga kepikiran menjadi seorang hakim,” ungkap kakak M Habib Sati dan M Firdaus Sati itu.
Tidak lupa kepada teman, menjadi karakter kuat bagi Ina yang juga gemar belajar otodidak bahasa Korea itu.
“Untuk teman-teman yang belum lulus SNMPTN tetap semangat ya. Teruslah berjuang, karena masih ada SBMPTN dan jalur nonreguler. Kata Nelson Mandela, semua akan tampak mustahil sampai semua selesai,” pesannya.
Berbeda dengan remaja pada umumnya, Ina mengaku tidak pernah tergoda pacaran.
“Sampai saat ini Ina gak pernah pacaran. Kalo temen sih komplit, selain cewek, teman cowok juga banyak. Namun, kalau hanya untuk menambah beban pikiran lebih baik fokus buat belajar. Kata mama, masalah pacar ntar aja kalau sudah kuliah,” ucap gadis yang juga berbakat memainkan gitar dan menyanyi itu. (*)

Rayhan F Matheza, Siswa SMAN 1 Batusangkar Peraih Nilai UN IPA Terbaik Sumbar


Dimuat di Padang Ekspres edisi  17 May 2015
Segelas Susu dan Sebutir Vitamin jelang Sekolah
Ujian Nasional (UN) berlalu sudah. Berbagai media massa juga tidak luput dibanjiri pemberitaan selebrasi kebahagiaan para siswa SMA/SMK ketika informasi kelulusan diumumkan.
Hiruk pikuk pelaksanaan UN akan menjadi kenangan tak terlupakan bagi Rayhan Fajar Matheza. Pasalnya, siswa SMAN 1 Batusangkar ini didaulat sebagai peraih nilai UN IPA terbaik Sumbar. Semangat belajar Rayhan, sapaan akrab Rayhan Fajar Matheza, sudah terlihat sejak kecil.
Saat duduk di bangku kelas 3 SD hingga kini, peringkat juara kelas tidak pernah lepas dari genggamannya. Selain itu, pria berkacamata minus itu juga seringkali menyabet gelar juara dalam berbagai Olimpiade Sains tingkat Sumbar. 
Di antaranya, juara 2 OSK Biologi di STAIN Batusangkar, dan Finalis Lomba Matematika se-Sumbar. Tahun lalu, Rayhan berhasil mendapat titel peraih skor individu tertinggi tingkat provinsi pada Olimpiade Online Nasional 2014 “Piala Hasri Ainun Habibie”.
Kejuaraan tersebut, kompetisi antar sekolah yang diadakan secara online serentak seluruh Indonesia. Selain rutin mengulang pelajaran dan rajin berdoa, Rayhan menyebutkan pentingnya menjaga pikiran tetap tenang saat menghadapi ujian.
“Refreshing perlu juga, tidak harus belajar terus karena bisa stres dan jenuh. Kalau menghadapi ujian segala sesuatu yang menyebabkan stres harus dibuang jauh-jauh agar dapat melalui ujian dengan enjoy,” kata siswa XII IPA 1 ini. 
Sebelum berangkat sekolah sang bunda selalu memberikan bekal vitamin untuk menunjang kecerdasan otak Rayhan menyerap pelajaran. 
“Karena Bunda berprofesi sebagai dokter, setiap hari menjelang berangkat sekolah Bunda selalu memberikan aneka vitamin dan segelas susu,” ujar Rayhan. Tak hanya aneka vitamin dan susu, Rayhan juga mengungkapkan sering belajar kelompok juga memberi dampak positif dalam memahami pelajaran.
“Saling berbagi itu penting. Kalau ada teman yang kurang mengerti sebuah pelajaran saya membantu. Begitu juga apabila saya tidak mengerti juga dibantu teman-teman. Itulah gunanya belajar kelompok yang senantiasa 3 kali seminggu saya lakukan bersama 4 orang teman. Tanya jawab soal dan mengerjakan tugas bareng secara bergiliran di rumah masing-masing anggota kelompok,” tutur siswa Ganesha Operation Batusangkar ini.
Rayhan mengaku sempat jenuh dalam belajar. Namun dia sadar, mengalah terhadap rasa malas bukanlah pilihan tepat. Rasa malas harus dibuang. “Kalau malas dibiarkan, nantinya bisa jadi kebiasaan,” tuturnya.
Berbagai kiat yang digunakan oleh anak semata wayang pasangan Martias dan dr Elza Desdamona SpA. Selain belajar kelompok, dia mengulang kembali pelajaran dari kelas satu dan dua.   
“Rencana saya dulu, akhir kelas 2 sudah mulai mengulang pelajaran ke belakang. Berhubung masih ada beberapa pelajaran yang tertinggal barulah sejak pertengahan semester awal kelas 3 secara rutin saya membaca kembali buku pelajaran kelas 1 dan 2,” imbuhnya.
Hasilnya, Rayhan mampu membanggakan sekolah dan Tanahdatar. Dia tercatat sebagai peraih nilai UN IPA terbaik Sumbar. Rincian nilainya, mata pelajaran Bahasa Indonesia 89,6, Bahasa Inggris  81,3, Matematika 97,4. Selanjutnya, Fisika 100, Kimia 95, dan Biologi 92,5. Total nilai UN 555,8 atau rata-rata 9,2.
Tak hanya terbaik UN IPA di Sumbar, Rayhan pun juga diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN). Lelaki yang mengaku belum pernah pacaran itu bercita-cita menjadi dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis jantung.
“Alhamdulillah sudah diterima menjadi mahasiswa undangan di FK Unand, namun tentang cita-cita saya masih ragu antara dokter spesialis penyakit dalam atau spesialis jantung. Saya minat dua-duanya. Jalani saja dulu, nanti bakal tau sendiri,” ungkap putra semata wayang itu.
Rayhan mengatakan pentingnya peran orangtua dalam menentukan keberhasilan dan prestasinya di sekolah.
“Setiap malam disuruh belajar, bahkan ditemani dari jam 7 hingga 9 malam. Apabila nilai menurun selalu dinasehati agar lain kali ditingkatkan lagi,” ungkapnya.
Pria berkacamata ini mengatakan jika juara kelas biasanya dia diberi reward jalan-jalan ke Padang atau Pekanbaru. “Kalau orang tua tidak terlalu sibuk kadang juga diajak ke Jakarta,” tutur Rayhan. (*)

Sefni, Mahasiswi FMIPA Unand yang Berprestasi di Bidang Syarhil

Sefni, Mahasiswi FMIPA Unand yang Berprestasi di Bidang Syarhil


Wartawan : Rifa Yanas - Padang Ekspres edisi 18 May 2015 
Ikut Lomba Nasional, Latih Dai Cilik 
Di sela kesibukan kuliah, Sefni aktif melatih anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Dara berusia 21 tahun ini melatih anak-anak berpidato, ceramah dan baca puisi.
Berkat bimbingannya, banyak yang meraih prestasi. Mahasiswi FMIPA Universitas Andalas Padang itu, kini bersiap mengikuti MTQ mahasiswa tingkat nasional di Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Sefni, anak bungsu kebanggaan Syofian dan Marinus yang tinggal di RT 01/RW 01 Nomor 23 Kelurahan Kotolua, Kecamatan Pauh, Padang. Sefni kuliah di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unand.
Sefni salah seorang peserta syarhil Quran, bidang musabaqah yang mengungkapkan isi kandungan Al Quran dengan cara menampilkan bacaan, puitisasi/terjemah dan uraian yang menunjukkan kesatuan yang serasi. 
Kepada Padang Ekspres,  mahasiswi semester 6 ini mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama ke cabang syarhil yang terdiri dari tiga orang, yang masing-masing bertindak sebagai pembaca ayat, pembaca terjemah/puitisasi, dan pengungkap isi kandungan Al Quran.
“Pas melihat sinergi dan kesinambungan ketiganya itu yang membuat Sefni tergila-gila pada bidang syarhil. Makanya jadi ikut syarhil juga,” ungkap anak bungsu dari empat bersaudara ini.
Kecintaan terhadap cabang syarhil, katanya, juga karena bidang ini dapat dikaitkan untuk membahas permasalahan-permasalahan di negeri kita saat ini.
“Contohnya kasus korupsi. Di Al Quran kan ada penjelasannya. Nah, nanti baru kita jelaskan bagaimana korupsi itu sesuai dengan apa yang dimuat di Al Quran,” ujar Sefni.
Di bidang syarhil ini, banyak prestasi diraih Sefni. Di antaranya juara 2 kompetisi syarhil antarkabupaten di Tanahdatar tahun 2010 dan juara 1 kompetisi syarhil tingkat Agam-Bukittinggi di Jambu Air tahun 2011.
Terakhir tahun 2014, dalam ajang MTQ mahasiswa tingkat nasional di Unand, Sefni bersama Indah Rahayu dan Widya Indiyani temannya sesama dari FMIPA meraih juara 3.
”Hidup itu hanya sekali, jadi lakukan yang terbaik. Mudah-mudahan tahun ini dapat lolos seleksi lomba MTQ mahasiswa se-Indonesia di Universitas Indonesia bulan Agustus nanti,” harapnya.
Untuk persiapan seleksi perlombaan MTQ mahasiswa tingkat nasional, Sefni mengaku sering berpidato sendiri di kamar dan berbicara lantang di depan cermin serta menambah pendalaman materi.
Tidak hanya itu. Dirinya juga aktif menjadi pelatih dai cilik di masjid dekat tempat tinggalnya, Masjid Ainul Muttaqin. Di masjid ini, Sefni berbagi ilmu berpidato kepada murid SD dan SMP. Di sela kesibukan jadwal kuliah, Sefni melatih generasi penerus bangsa itu. 
Kurang dari seminggu jelang lomba pidato antar Taman Pendidikan Al Quran (TPA) se-Kelurahan Kotolua bulan Ramadhan lalu, anak didik Sefni berhasil meraih juara 2 tingkat SD dan SMP. Berkat usahanya, Masjid Ainul Muttaqin mendapat juara umum se-Kelurahan Kotolua pada iven tersebut. 
Sebagai pelatih dai cilik dan membaca puisi, Sefni juga mematangkan persiapan anak didiknya tampil dalam Festival Anak Soleh antar MDA/MIN se-Kota Padang. Selain mencintai bidang syarhil, dia sangat tertarik dengan penangkaran penyu yang juga ada kaitannya dengan jurusan Sefni. 
“Dengan mempelajari biologi, secara langsung kita akan dikenalkan dengan setiap makhluk hidup dan belajar mencintai alam, termasuk penyu. Untuk itu, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga penyu dari ancaman manusia,” katanya.
Saat ini, katanya, Indonesia merupakan negara yang kaya dengan spesies penyu. Namun, populasinya mulai terancam kepunahan karena ulah tangan manusia.
“Saya terus mengupayakan share informasi melalui media sosial untuk menyadarkan masyarakat supaya mencintai penyu, khususnya di Sumbar,” ucapnya. (*)

Rasyida Rumaisya, Calon Dokter Hapal 30 Juz Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 24 April 2015 

Hapal Al Quran seperti Baca Dongeng 
Meski bukan lagi jadi santri namun gadis manis ini tetap mewajibkan diri baca Al Quran tiap hari. Bahkan di tengah kesibukan jadi mahasiswi kedokteran, di sela waktu menunggu dosen ia sempatkan baca 1 juz Al Quran. Bagaimana kisahnya?
Gadis cantik ini lahir dan dibesarkan di RT 02/RW 01 Bantolaweh Kelurahan Kayukubu, Kecamatan Gugukpanjang, Bukittinggi. Saat ini menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Unand Padang.
Rasyida Rumaisya yang akrab disapa Irum, mengawali pendidikan dasar di SD Islam Cahaya Hati Bukittingi. Setelah itu melanjutkan studi ke Pondok Pesantren (Ponpes) Ar Risalah Padang. Lulus Ar Risalah, ia diterima di jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran (FK) Unand Padang angkatan 2014.
Selama menempuh pendidikan menengah, Irum sudah meraih banyak prestasi. Di antaranya juara 2 Olimpiade Sains Fisika tingkat Kota Padang tahun 2010. Kala itu Irum masih kelas 2 SMP di Ar Risalah. 
Tiga tahun kemudian anak perempuan dari pasangan Darwin dan Ilma ini, meraih juara 2 Kompetisi Sains Nasional khususnya mata pelajaran Fisika. Di bidang hapalan Al Quran, tahun 2010, ia menjuarai cabang 5 juz.
Dua tahun kemudian, Irum menyabet gelar juara II dalam cabang 10 Juz di Dharmasraya tahun 2012. Lalu cabang 20 Juz yang diikutinya tahun 2013 lalu, Irum meraih juara Harapan. Anak pertama dari lima bersaudara itu selalu menyempatkan membaca Al Quran di sela-sela waktu menunggu dosen. 
“Rutin satu juz sehari tidak boleh lewat, meskipun saat ini jadwal kuliah sangat padat. Harus bisa memanfaatkan waktu sekecil mungkin. Misal, ketika nunggu dosen masuk kelas, karena target kalau bisa tahun 2015 ini sudah hafal 30 Juz dengan lancar,” tuturnya.
Irum yang saat ini masih duduk di semester II FK Unand itu juga membeberkan rahasia jitunya saat menghapal Al Quran. Dulu waktu di asrama, supaya lebih cepat hapal, Irum mempelajari dulu artinya.
“Setelah itu, menghapal dengan trik seperti membacakan dongeng bagi anak-anak. Dengan begitu cepat melekat di kepala,” Irum mengisahkan.
Irum mengaku, mulai mencintai Al Quran sejak masuk Ponpes Ar Risalah Padang. Kala itu dirinya menyaksikan aktivitas teman-teman asrama yang berlomba-lomba menyibukkan diri menghapal Al Quran. Hal itu, pemandangan luar biasa baginya jika dibandingkan dengan mayoritas keseharian remaja saat ini.
Melihat teman-teman yang saling berpacu menghapal Al Quran, Irum juga tidak mau tinggal diam. Berkat dukungan ustadz dan semangat teman-teman akhirnya Irum juga bisa menghapal Al Quran seperti anak-anak lainnya.
“Ternyata menghapal Quran itu tidaklah sulit kalau mau memulai,” ungkapnya. Kalau pulang ke rumah, ibunya biasanya senantiasa bertanya mengenai hapalan Al Quran Irum. Hal itu menjadi motivasi tersendiri baginya. “Itu memacu semangat saya untuk menghafal lebih banyak,” ujarnya. (*)

Dua Bocah Tewas Terseret Ombak

Dimuat di Padang Ekspres edisi 8 Agustus 2015
 
Standar keamanan di objek wisata pantai di Kota Padang kembali mendapat tamparan. Kemarin (7/8) sekitar pukul 15.00, dua bocah tengah asyik mandi di Pantai Ulakkarang, tepatnya dekat Kafe Alun belakang Kampus Universitas Bung Hatta (UBH), tewas usai terseret ombak.
Kedua korban tewas itu masing-masing Alam Sarif Hidayatullah, 10, dan Joan Rama Sondeska alias Jojo, 10. Keduanya beralamat di Jalan Bahari RT 03/02 Kelurahan Ulakkarang Selatan, Kecamatan Padang Utara. 
Berdasarkan keterangan saksi mata Danil, 32, sebelum terseret ombak kedua bocah itu terlihat mandi-mandi bersama teman-temannya di tepi Pantai Ulakkarang, dekat Kafe Alun belakang Kampus UBH. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba kedua bocah itu terseret ombak.
“Saya mendengar teriakan minta tolong dari teman korban di sekitar pantai. Saya menyaksikan korban sudah dibawa arus dan tenggelam. Melihat kejadian tersebut, saya langsung terjun ke laut untuk berusaha menyelamatkan korban,” ujarnya.
Saat diselamatkan, lanjut Danil, korban bernama Alam Syarif Hidayatullah sudah meninggal. Namun untuk keperluan penyelidikan, jasad Alam dibawa ke RSUP M Djamil Padang guna dilakukan visum luar. Sedangkan Joan Rama Sondeska kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit Ibnu Sina.
Namun, nyawa korban tidak dapat diselamatkan. Korban meninggal pukul 16.30. Kedua korban telah dibawa ke rumah duka di Jalan Bahari, Ulakkarang oleh pihak keluarga.
Kapolsek Padang Utara Kompol Yulinasril yang terjun ke TKP mengatakan, pihaknya sudah visum luar terhadap korban.
“Untuk kepentingan penyelidikan, kami akan minta pihak keluarga korban membuat surat pernyataan tidak dilakukan visum dalam,” kata Kompol Yulinasril didampingi Kanit Reskrim Iptu Jaswir ND. (*)

Rumah Belajar Access yang Pendirinya Penghapal Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 4 April 2015
Target Enam Bulan Bisa Bahasa Inggris
Kurikulum sekolah dinilai tidak sepenuhnya mampu membuat siswa bisa berbahasa Inggris dengan baik. Kondisi itulah yang mendasari beridirnya tempat les Bahasa Inggris yang kemudian diberi nama Rumah Belajar Acces. Siswa dibatasi 4-6 orang per kelas sehingga bisa menyerap pelajaran lebih baik.
Rumah Belajar Access didirikan oleh dua sejoli Humairatul Khairiyah dan Asra Hayati. Keduanya bertemu saat sama-sama mendaftar sebagai tenaga pengajar Bahasa Inggris di salah satu SMA swasta di Padang.
Kesamaan ide dan pandangan mempererat pertemanan Ira dan Asra. Pertengahan tahun 2013, mereka akhirnya sepakat merintis bisnis yang kemudian mereka namakan Rumah Belajar Access.
“Rumbel ini berdiri karena berkaca dari kegagalan kurikulum sekolah. Secara pribadi, saya tidak biasa belajar diatur-atur dan terikat dengan kurikulum. Karenanya pula, di lapangan kebanyakan anak hebat berbahasa Inggris bukan karena sekolah, melainkan tempat bimbel atau les,” ungkap Humairatul Khairiyah yang akrab dipanggil Ira ketika berbincang dengan Padang Ekspres, Kamis (2/4).
Meski terbilang muda, saat ini Rumah Belajar Access ini telah memiliki peserta didik aktif sebanyak 90 orang. Namun, konsep yang diusung rumbel ini berbeda dengan bimbingan belajar pada umumnya. Di tempat ini satu kelas hanya diisi 4-6 siswa.
Tujuannya, agar ada ikatan emosional antara pengajar dengan siswa serta memaksimalkan penyerapan pelajaran.
Rumah Belajar Acces milik Ira dan Asra memasang motto “The Real Access For Being Success”. Yang berarti, “Jalan Sebenarnya menuju Sukses”. Selain Bahasa Inggris sebagai program unggulan, juga tersedia kelas lain seperti kelas Fisika, Kimia, Matematika, dan mata pelajaran SD.
Suasana belajar tidak menggunakan kursi, tapi duduk di lantai dengan meja bundar seperti lesehan.  
Khusus untuk program unggulan Bahasa Inggris, tidak ada tingkatan basic dan intermediate seperti bimbel pada umumnya. Adanya program enam bulan terpadu untuk membuat peserta didik mampu berbahasa Inggris.
Owner Hapal Al Quran
Selain memiliki konsep berbeda, Rumbel Access juga memiliki keunikan. Pendirinya Humairatul Khairiyah adalah seorang penghafal 17 juz Al Quran. Saat ini, perempuan 26 tahun ini merupakan mahasiswa Program Pascasarjana (PPS) Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Padang. 
Beberapa kali Ira menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Sumatera Barat khususnya cabang Tafsir Al Quran berbahasa Inggris. Ajang perlombaan itu mensyaratkan mufasir (penafsir Al Quran, red) harus hafal minimal 3 juz. 
Dengan hafalan 17 juz yang telah dimantapkan Ira, ditambah kemampuan berbahasa Inggris, sejatinya perlombaan tersebut telah mengantarkan Ira menuju prestasi gemilang.
Perempuan asal Pariaman itu juga membeberkan beberapa tips agar bisa menghapal Al Quran. “Pilih waktu yang efektif sebelum Subuh atau sehabis Maghrib, pahami terjemahan, dan perdengarkan kepada ustadz untuk membenarkan bacaan kita. Insya Allah kita semua bisa menghafal Al Quran,” ungkap Ira.
Ira sudah terbiasa mengikuti lomba sejak kecil, mulai dari lomba iqra, lomba pidato hingga lomba membaca kitab gundul (buku berbahasa Arab yang tidak memiliki baris, red).
Khusus untuk lomba membaca kitab gundul, Ira terbilang beruntung saat mewakili Sumatera Barat berangkat ke Kalimantan Selatan dalam ajang Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) tahun 2008. “Saat itu hanya mampu finish 10 besar, namun tetap Alhamdulillah,” ujarnya.
Hidup Mandiri
Di balik parasnya yang nyaris tanpa make-up, gadis cantik itu menceritakan kerinduannya pada sosok ayah. Sejak kelas 6 SD, ayahnya terkena stroke sehingga tidak bisa lagi menjadi tumpuan keluarga.
“Terpaksa ibu yang membiayai kami seorang diri. Saat saya berusia 17 tahun ayah menutup mata meninggalkan kami,” kenang Ira.
Waktu kecil, dia mengaku sering di depan pintu kelas, melihat anak kelas 1 SD belajar. “Dari situ saya mencuri ilmu untuk belajar. Saat saya di bangku kelas 1, begitu naik kelas saya tidak ke kelas 2, malah direkomendasikan para guru untuk langsung naik kelas 3. Jadinya saya hanya SD dalam tempo 5 tahun,” kenang Ira menceritakan trik belajar yang diberikan mendiang ayahnya.
Sejak memasuki bangku kuliah, beban hidup keluarga semakin bertambah. Hal itu tidak mematahkan semangat dan kegigihan Ira. Bermodalkan skill bahasa Inggris dan ilmu Al Quran, Ira mencoba mengajar privat beberapa siswa di sekitar kontrakannya.
“Ngajar ngaji dan les bahasa Inggris, hasilnya memang tidak seberapa. Tapi ditambahkan dengan bonus dan uang saku yang diperoleh setelah mengikuti lomba, bisa juga dicukup-cukupkan,” kata Ira yang pernah menjadi tenaga pengajar di salah satu SMA swasta di Padang itu. (*)

Al Hafizh Ibnu Qoyyim, Calon Diplomat Penghafal Al Quran

Dimuat di Padang Ekspres edisi 10 April 2015

Padang-Lubukbasung Bisa Hafal Dua Juz 

Lanca kaji dek diulang, pasa jalan dek ditampuah. 
Pepatah Minang di atas cocok untuk menggambarkan ketekunan seorang Al Hafizh Ibnu Qoyyim, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Unand ini.
Pria yang biasa dipanggil Hafizh ini merupakan satu mutiara dari sekian batu permata yang tersimpan di kampus Limaumanih. Meski jenjang pendidikan yang dipilihnya merupakan pintu gerbang menuju calon diplomat, itu tidak membuatnya lupa dengan Al Quran.
“Kalau pulang kampung ke Lubukbasung, menghabiskan waktu dua jam perjalanan. Di sepanjang perjalanan, minimal satu atau dua juz bisa mengulang hafalan Quran,” kata Hafizh membeberkan salah satu jurusnya menghapal Al Quran. 
Saat ini Hafizh fokus mempersiapkan diri untuk bisa ikut serta dalam ajang Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) antar-mahasiswa tingkat nasional. Rencananya, iven dua tahunan itu digelar di Universitas Indonesia Jakarta 1-7 Agustus mendatang.
Untuk itu, Hafizh terus memperbanyak pemahaman soal-soal yang berhubungan dengan kandungan Al Quran. Selain itu dirinya juga mengintensifkan mengulang hafalannya. 
Artinya, dengan bekal yang telah dimilikinya ini, selain berpotensi sebagai penghapal Quran, Hafizh juga memiliki skill memahami isi kandungan Al Quran. 
Kepada Padang Ekspres, kemarin (9/4), Hafizh mengatakan, mengulang hafalan Al Quran adalah bentuk persiapan ikut serta dalam cabang Musabaqah Hifzil Quran (MHQ).
Sementara memahami kandungan Al Quran dari berbagai materi, dilakukannya untuk persiapan cabang Musabaqah Fahmil Quran (MFQ). Di samping terus menghapal Al Quran, mahasiswa kelahiran Tiku 10 Oktober 1993 itu juga tertarik pada cabang MFQ.
“Dari  sekian banyak cabang MTQ, cabang MFQ inilah yang memiliki semua aspek keilmuan di dalamnya. Fahmil itu merupakan campuran dari banyak bidang ilmu lainnya seperti science, politik, sejarah lampau hingga kajian kontemporer ada di cabang ini,” tuturnya.
Menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Pengembangan Ilmu dan Kandungan Al Quran (UKM-PIKA) tidak membuatnya lengah terhadap hapalannya. Selain dukungan dari keluarga, teman-teman sesama peserta lomba fahmil juga mendorong Hafizh untuk mampu meraih segudang prestasi. 
Sejauh ini, dia telah meraih banyak prestasi. Di antaranya, juara 1 lomba baca kitab kuning se-Kota Solok tahun 2010,  juara 2 fahmil se-Kabupaten Agam tahun 2010, dan juara 2 MFQ se-Unand tahun 2012. Di ajang fahmil, anak sulung dari empat bersaudara itu pernah menjadi semifinalis di tingkat nasional. 
“Pada tahun 2013, kebetulan waktu itu tuan rumahnya adalah Unand dan UNP, tapi sayangnya hanya mampu masuk semifinal,” ujarnya. 
Hafizh membeberkan rahasia kesuksesannya. Menurut dia, dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Inilah kiat yang terus membuatnya dapat meraih puluhan prestasi. 
Hafizh sendiri suka membaca buku tentang kisah-kisah tokoh Islam, dan buku science. Dia juga aktif berorganisasi dan berbagai perlombaan skala lokal maupun nasional. Dengan begitu, diharapkannya bisa mengasah kemampuan mengatur waktu. 
“Semakin banyak kegiatan, tentu kita juga harus lebih pandai membagi waktu. Tetap utamakan prioritas. Kalau saya sekarang sebagai mahasiswa, prioritas utama memang kuliah. Kalau mampu berprestasi di luar kampus, Alhamdulillah,” ungkapnya. (*)

Senin, 17 Agustus 2015

Riki Thresia, antara Karir Menyanyi dan Polisi

Dimuat di Padang Ekspres edisi 16 May 2015

Didukung Komandan, Utamakan Tugas Kepolisian
”Garudo tabang ateh langik mak Turunlah gajah patah gadiang
Manyasok lalu ka tapian
Tampak nan dari tabang ka hulu.”
Lagu ini menjadi andalan Riki Thresia pada album keduanya. Bagaimana keseharian Riki Thresia membagi waktu antara karir dan menyanyi?
Penampilan Tere—sapaan akrab Riki Thresia—dalam video klip lagu ini menceritakan kisah nyata seorang polisi tahun 2014 lalu. Target operasi dalam video klip tersebut merupakan seorang pembawa sabu, ganja dan senjata tajam.
Ketika Reskrim Padang Selatan berhasil menangkap si pengedar, alangkah kagetnya sang polisi, ternyata pelakunya adalah adik kandungnya sendiri.
Ibunya pun tidak tahu bahwa sang adik ditangkap oleh kakak kandungnya. Bahkan, temannya sesama polisi, tidak menduga bahwa pengedar narkoba itu adalah adik Tere.  
Kisah inilah yang diceritakan Tere kepada Wan Parau, dan berujung pada pembuatan sebuah video klip lagunya. Tere adalah anggota Polsekta Padang Selatan.  
“Waku mengikuti pendidikan kepolisian di Padangbesi, banyak rekan-rekan bernama Riki. Ketika yang satu melakukan kesalahan, semua bernama Riki dihukum. Akhirnya, salah seorang komandan memberi singkatan nama Riki Thresia menjadi Tere,” tutur anak keempat pasangan Nutria dan Zainul Abidin itu.
Tere hobi menyanyi sejak kelas 2 SMP.  Wan Parau menjadi pelatih olah vokal dan pernapasan. Akhirnya, album perdana berhasil diluncurkan tahun 2013, dengan 10 buah lagu karya Wan Parau.
“Latihan sering digelar di Taman Makam Pahlawan Lolong. Bergitar di pinggir jalan raya dan akhirnya dipercaya membawakan 10 karya Wan Parau, saya benar-benar tidak menyangka,” ucap suami dari Lisa Febrina ini.
Memakan waktu sekitar dua bulan, album yang diproduseri Randi Fermansen ini pun rampung. Menurut Tere, album bertajuk Mambangkik Batang Tarandam ini, mendapat sambutan hangat di belantika musik Minang.
 “Alhamdulillah tanggapan masyarakat cukup baik, kurang lebih 5 ribu copy CD terjual,” ujar pria kelahiran 10 Mei 1981 ini.
Setelah sukses merilis album pertama, ia pun kembali dipercaya menggarap album berikutnya. Oktober 2014, Tere merilis album kedua. Musisi Minang kenamaan seperti Yen Rustam, Wan Parau, Alextri Chaniago, dan Faisal Chank turut andil menyumbangkan karyanya dalam album kedua ini.
“Ada beberapa lagu andalan dalam album ini, seperti Maafkan karya Yen Rustam, dan Pasan Mande, Mangalah Bukan Dek Kalah karya Wan Parau, Limau Puruik karya Faisal Chank, serta Sitinjau Lauik dan Cinto di Pantai Padang karya Alextri Caniago,” sebut Tere.
Lagu Minang, menurut Tere, tidak semudah dipikirkan, meskipun sudah menjadi bahasa sehari-hari. “Harus paham dengan tema supaya meresapi makna lagu. Masalah cengkok juga tidak kalah sulitnya, berbeda dengan lagu pop,” ujarnya.
Di sela kesibukan sehari-hari, Tere tetap memprioritaskan kewajibannya sebagai seorang polisi.
“Saya bernyanyi dengan tidak meninggalkan tugas, shooting saja kalau tidak ada izin komandan tidak bisa. Sabtu-Minggu sekalipun bila ada jadwal mentas, jika bentrok dengan piket, pementasan terpaksa dibatalkan,” tuturnya.
Yang penting, tambahnya, bisa menjalani dua kehidupan berbeda. Tere berharap dengan mendedikasikan diri di dunia hiburan Minang dapat mengurangi imej jelek kepolisian selama ini.
“Ada sisi lain dari seorang polisi, dan tidak semua polisi identik dengan kekerasan. Polisi sama dengan instansi lain, cuma diberi wewenang khusus menegakkan hukum oleh negara. Mudah-mudahan polisi tidak lagi menjadi momok yang ditakuti dan dimusuhi masyarakat. Semoga album pertama dan kedua diterima di masyarakat,” ucapnya.
Menjadi seorang penyanyi Minang, tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Tere.
“Saya benar-benar tidak menyangka, awalnya hanya fokus karir sebagai polisi. Alhamdulilah komandan sangat mendukung, dalam berbagai kesempatan komandan selalu membantu promosi lagu-lagu saya, ko anggota ambo, balilah albumnyo,” ucap Tere melafalkan gaya komandannya.
“Kalau tampil di hadapan komandan, selalu di-request lagu Mambangkik Batang Tarandam karena kisah hidup komandan yang berasal dari keluarga kurang mampu, dengan rumah beratapkan rumbio semasa kecil,” tambahnya.
Tere ikut berbangga seiring booming lagu Minang di kalangan generasi muda, sekaligus menyayangkan masih maraknya pembajak lagu Minang.
“Kalau saja konsumen tahu susahnya membuat lagu, mereka tidak akan mau membeli VCD bajakan. Alangkah besarnya kerugian yang diderita industri musik. Waktu, biaya, tenaga dan pemikiran produser terkuras membuat sebuah karya, sayangnya bajakan tetap merajalela,” imbuh ayah Stiven Limbelju dan Deca Febriangela ini. (*)

Edi Satria a.k.a Mak Itam, Artis Minang Multitalent

Dimuat di Padang Ekspres edisi 13 Juni 2015

Berawal dari Randai, Artis, Dosen hingga Produser
Nama Edi Satria atau akrab dipanggil Mak Itam, tak asing lagi bagi pecinta musik Minang. Sepak terjangnya di industri musik Minang, tak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana perjalanan karirnya?  
Den baok bajalan ka ateh ka baruah
Indak lah tantu hati ko nan sadang rusuah
Mancari panompang oto ndak namuah panuah
Urang diimbau gayanyo acuah tak acuah

Begitulah penggalan lirik lagu Mak Itam dalam salah satu lagunya berjudul ”Oto Pinjam”. Berbagai kesibukan dan jadwal manggung, kini menghiasi hari-hari Mak Itam. Statusnya sebagai dosen tidak menghalangi rutinitasnya sebagai entertainer bergenre Minang.
Mak Itam sering disandingkan dengan Jhon Cakra, Mak Lepo, Mak Pono, Si Cabiak atau pun Etek Kadai. Mereka tampil menghibur dengan aksi kocak dan candaan khas, berisi pesan moral mengenai fenomena aktual di tengah masyarakat.
Kepada Padang Ekspres kemarin (12/6), pria kelahiran Paninggahan, Kabupaten Solok pada 7 Mei 1975 silam itu, menceritakan perjalanan hidupnya menapaki kesuksesan sebagai artis Minang. Kedua orangtuanya, Bainun (ayah) dan Nuribah (ibu), meninggal dunia ketika dirinya tamat SMP.
Hidup yatim piatu, membuat bungsu dari enam bersaudara itu harus belajar hidup mandiri. Jiwanya semakin tertantang setelah mendengar cemooh tetangga yang meremehkannya.
“Tetangga di kampung pernah mengatakan kepada saya, seluruh keluarga saya sampai ke bako (keluarga dari pihak ayah, red) tidak akan menjadi orang sukses. Ucapan inilah yang ingin saya buktikan. Dengan kerja keras dan tawakal, saya bertekad bisa sarjana,” kenang Mak Itam.
Sejak duduk di bangku kelas 1 SMP, Mak Itam aktif dalam kesenian randai di kampung. Bukik Gunung Siri, demikian nama sanggar seni yang mendidiknya.
Singkatnya, tahun 2004, Mak Itam dipertemukan dengan Edi Cotok, Sukaesih dan Mak Lepoh. Mereka berkolaborasi menelurkan album Kucindan Minang di bawah payung Minang Record. Setahun berselang, lahirlah album kedua bertajuk Lagu Lawak R&B.
Ketika menempuh pendidikan sarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Mak Itam dipertemukan dengan Jhon Cakra dan Mak Lepo. Tahun 2007, mereka melahirkan album berjudul Langkok-langkok. Dari sinilah nama Mak Itam meroket.
Album yang dirilis tahun 2007 itu, mengusung Pangaja Jando dan Centang Parenang, sebagai lagu andalan. “Sejak itulah Mak Itam dikenal dari Sabang sampai Merauke dengan penjualan CD sampai 50 ribu copy,” kenang Mak Itam.
Kesabaran Mak Itam membuahkan hasil. Ucapan tetangga yang dulu memandangnya sebelah mata, lambat laun berubah. Tahun 2009, Mak Itam diangkat menjadi PNS sebagai Pranata Labor Pendidikan di ISI Padang Panjang.
“Edi Satria paham di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Ketika berprofesi sebagai PNS, pakai baju dinas dan melaksanakan kewajiban. Di luar jam dinas, Edi Satria menjadi Mak Itam dan tampil menghibur masyarakat,” ujar suami Desrita itu.
Dengan gelar magister (S-2) yang disandangnya, Mak Itam juga sudah menciptakan berbagai film singkat bertemakan budaya Minang.
Malin Datang, Situ Nurbara, Datuak Paragiah merupakan karya pelesetan Mak Itam dari cerita rakyat Malin Kundang, Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih yang telah diputar di berbagai daerah di Sumbar.
”Dengan memasukkan unsur khas Minang, kita masih bisa bersaing dengan sinetron dan film nasional. Kalau dulu di Sumbar pernah lahir film Sengsara Membawa Nikmat dan Datuk Maringgih, berarti kita juga bisa menciptakan hal setara,” kata Mak Itam yang sehari-hari menetap di Pasar Usang, Padangpanjang itu.
Tahun 2011 bisa jadi puncak karir ayah dari Luxiana Kharisma yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD itu. Berbekal sejuta pengalaman dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya, Mak Itam membentuk dapur rekaman sendiri bernama Win Record.
Sebagai seorang produser label Win Record, Mak Itam sudah memproduksi delapan album. Terakhir, bersama Jhon Cakra, Upiak Segeh, dan Cabiak bergabung Win Record mengeluarkan album bertajuk Bagadencak  pada April 2015 lalu.
Kini, lagu-lagu berjudul Buruak Sisiak, Kadai Kopi, Coment Saya, Karajo Sampiangan sudah bisa didapatkan di toko VCD atau di-download melalui Youtube.
Mak Itam juga tengah meneruka karir di dunia bisnis. Maret 2015, dia mendirikan Talago Intan Art sebagai penyedia jasa perlengkapan pernikahan dan panggung hiburan.
“Segala paket kesenian, tenda pelaminan, MC dan alat musik ada di sini. Jikok ka Sawah Jan Lupo Batanam Padi, Kalau Ado Acara Jan Lupo Undanglah Kami,” pungkasnya. (*)